Pages

15 Desember 2014

Biografi Singkat Muhammad Iqbal




Biografi Singkat Filosof Muhammad Iqbal

A.    Biografia
Muhammad Iqbal merupakan seorang penya’ir, filsuf, ahli hukum, pemikir politik, dan reformasi politik. Beliau lahir di Sialkot pada 22 Februari 1873, lahir dari keluarga yang nenek moyangnya berasal dari lembah Kashmir. Beliau memulai pendidikanya pada ayahnya yang bernama Nur Muhammad, seseorang yang dikenal sebagai ulama’.
Kemudian setelah menamatkan pendidian sekolah dasar di kampong kelahirannya pada tahun 1895 segera melanjutkan pelajarannya ke Lahore. Di kota ini ia telah mendapat binaan dan gemblengan dengan jiwa muda yang berhati baja oleh Maulana Mir Hasan, seorang ulama’ kawakan yang merupakan teman ayahnya.
Dan ulama’ ini memberikan dorongan dan semangat yang mewarnai dan mendasari jiwa Iqbal dengan ruh agama yang senantiasa bersemayam dalam jiwa, menggelora dalam hati, serta menentukan gerak, langkah, tujuan dan arah. Sehingga keberhasilan ulama tersebut dalam membinanya membawa kesan yang mendalam di hati Muhammad Iqbal.[1]
Selain itu, di kota ini Muhammad Iqbal juga bergabung dengan perhimpunan sastrawan yang sering diundang Musya’arah. Dalam perkumpulan ini, dimana sasatra Urdu berkembang pesat dan bahasa Persi semakin terdesak, pada usia mudanya Iqbal membacakan sajak-sajaknya. Berikutnya, Muhammad Iqbal juga memberanikan diri untuk memberanikan sajaknya tentang Himalaya dihadapan para anggota terkemuka organisasi sastra di Lahore.
Sehingga dengan adanya hal ini namanya semakin mencuat, dan menjadi semakin populer diseluruh tanah air setelah sajaknya dimuat dalam majalah Maehan, suatu majalah bahasa Urdu. Melaui majalah itu pula masyarakat luas semakin mengenal sehingga mendorong majalah dan harian lainnya berebut meminta izin untuk menyiaran sajak-sajaknya.
Selain sebagai penya’ir, Muhammad Iqbal merupakan ahli politik terkemuka, yang mana sumbagan dan perjuangannya merupakan modal pokok terbentuknya Negara Republik Islam Pakistan di Barat Laut India.
Disamping ahli politik, beliau juga ahli pendidikan dan pengacara yang dijabatnya sejak 1908 sampai1937. Tujuan utamanya hanya sekedar untuk menartik hidup. Beliau jujur dan ramah, sehingga tidak pernah menerima suatu perkara kalau sudah diyakini bahwa perkara itu tidak dapat dibela olehnya
Begitulah Muhammad Iqbal, masih banyak bidang-bidang lain yang dikuasainya. Dan pengaruh yang sedemikian besarnya sebagai penyair maupun filosof diabadikan sebagai nama beberapa lembaa di Jerman, Italia, dan negara-negara lainnya.
Dan dalam penderitaan sakit yang begitu lama, beliau juga berpesan melalui sya’irnya:

Kukatakan padamu tanda seorang mukmin.
Bila maut dating, akan merekah senyum di bibir

Bahkan, setengah jam sebelum menghembuskan nafas terakhir, beliau masih sempat membisikkan sajaknya yang terkenal:

Modal perpisahan boleh menggema atau tidak
Bunyi Nafiri boleh bertiup lagi dari Hijaz atau tidak
Saat si Fakir telah sampai ke batas akhir
Pujangga lain boleh dating atau tidak

Dan, kata paling terakhir sekali yang oleh beliau ucapkan adalah Allah. Saat itulah, fajar 21 April 1938 menjelang matahari terbit menyinari kota Lahore, dunia kehilangan seorang pujanga besar. Saat itu pula, beliau Muhammad Iqbal yang jenazahnya dimakamkan di dekat pintu gerbang masjid Shai di Lahore, pakistan meninggalkan banyak kesan dan pesan yang dapat dipelajari serta direnungkan oleh generasi masa datang.[2]

B.     Pemikiran
Sebagai seorang  yang berjiwa idealis serta berhati patriotic, Muhammad Iqbal senantiasa menyalakan semangat idealism kedalam kalbu pemuda muslim.
Diantara pemikiran-pemikiran Muhammad Iqbal yang menarik adalah tentang pentingnya arti dinamika dalam hidup. Tujuan akhir setiap manusia adalah hidup, keagungan, kekuatan, dan kegairahan. Sehingga semua kemampuan manusia harus berada dibawah tujuan ini, dan nilai segala sesuatu harus ditentukan sesuai dengan kecakapan yang dihasilkan.
Menurut beliau, mutu seni yang tinggi ialah mutu yang dapat menggunakan kemajuan yang sedang tidur mendorong manusia untuk menghadapi segala macam cobaan. Selain itu, suatu kelesuan yang membuat seseorang menutup mata terhadap kenyataan disekeliling, maka itu merupaka sesuatu yang akan menjerumuskan seseorang kedalam kehancuran dan maut.
Selanjutnya, beliau juga sangat menentang keras sikap lamban, lemah, dan beku. Karena itu semua dipandang sebagai penghambat laju kemajuan. Bahkan, beliau juga menentang pengertian takdir yang telah menjadi salah kaprah, seakan-akan sebagai bahan yang sudah terjadi. Dan untuk menjadi maju, manusia harus berjuang dengan gigih, berikhtiar memerangi alam sekitar serta keadaan.[3]


C.    Karya
Sepanjang hidupnya, diperkirakan Muhammad Iqbal meninggalkan tidak kurang dari 21 karya monumental.  Diantaranya yaitu:
1.      Ilm al Iqtisad, (1903)
2.      Development of Metaphysis in Persia: A Constribution to the History of Muslim Philosophy (1908).
3.      Islam as a Moral and Political Ideal, (1909)
4.      Asrar-I Khudi (Rahasia Pribadi)
5.      Rumuz-I Bekhudi (RahasiaPeniadaan Diri)
6.      Payam-I Masyriq (Pesan Dari Timur)[4]

D.    Filsafat
1.    Ego atau Khudi
Konsep tentang hakikat ego atau individualitas merupakan konsep dasar dari filsafat Muhammad Iqbal, dan menjadi alas penopang keseluruhan struktur pemikiran beliau.
Ego juga sebagai pusat landasan dari semua kehidupan, dan merupakan suatu arah iradah atau kehendak kreatif yang terarah secara rasional.
Tujuan ego bukan membebaskan diri dari batas-batas individualitas, melainkan memberikan batasan tentang dirinya dengan lebih tegas. Tujuan ego bukan pula melihat sesuatu, melainkan menjadi sesuatu. Karena dengan ‘ego sesuatu’ itulah seseorang dapat menemukan kesempatan untuk mempertajam pandangannya dan memperoleh bukti realitas dirinya.[5]
Pencarian ego adalah pencarian untuk mendapatkan definisi yang lebih tepat mengenai diri seseorang.
2.      Ketuhanan
Pemahaman Muhammad Iqbal tentang ketuhanan mengalami tiga tahap perkembangan. Ketiga tahap itu adalah:
TahapPertama: tahun 1901-1908, pada tahap ini Muhammad Iqbal cenderung sebagai mistikus panteistik. Hal ini terlihat pada kekagumannya pada konsepsi mistik yang berkembang di wilayah Persia melalui tokoh falsafi seperti Ibn Arabi. Dan pada tahap ini Muhammad Iqbal meyakini Tuhan sebagai Keindahan Abadi, keberadaan-Nya tanpa tergantung pada sesuatu dan mendahului segala sesuatu, bahkan menampakkan diri dalam kesemuanya itu.
Tahap Kedua: tahun 1908-1920, pada tahap ini Muhammad Iqbal mulai menyangsikan tentang sifat kekal dari keindahan dan efisiensinya. Pada tahap ini Muhammad Iqbal mulai tumbuh dalam keyakinannya akan keabadian cinta, hasrat, dan upaya atau gerak. Usaha untuk mendekatkan diri pada tuhan hanya dimunginkan lewat pribadi, manusia juga dituntut untuk menyerap tuhan kedalam dirinya, menyerap sebanyak mungkin sifat-sifat-Nya, dan kemungkinan ini tidak terbatas. Karena dengan menyerap sifat Tuhan kedalam diri, seseorang bisa naik tingkatannya.
Tahap Ketiga: tahun 1928 sampai 1938, jika tahap kedua merupakan pertumbuhan, maka dalam tahap ini Muhammad Iqbal telah menemukan tentang konsepsi ketuhanan. Karena menurut Muhammad Iqbal Tuhan adalah “Hakikat sebagai suatu keseluruhan” yang bersifat spiritual. Tegasnya, Tuhan adalah Ego Mutlak, meliputi segalanya, tidak ada sesuatu pun diluar-Nya. Dan Tuhan merupakann sumber segala kehidupan, sumber darimana ego-ego bermula yang menunjang adanya kehidupan.[6]
3.      Materi dan kausalitas
Dunia luar itu ada dan nyata, pandangan seseorang memperlihatkan realitas yang tidak dapat disangkal. Sedangkan Muhammad Iqbal beranggapan bahwa fakta dan usaha merupakan suatu fakta yang tak terbantahkan dalam kesadaran seseorang. Dalam seluruh tindakan dan usaha, seseorang merasa terasa terbatasi dengan sesuatu yang dihadapi.
Mengenai materi, para ahli Fisika berpendapat bahwa materi adalah bahan kecil, keras dan padat yang berada dalam kehampaan, yang disebut ruang. Dan substansi tersebut adalah atom. Namun pandangan Muhammad Iqbal mengenai hal ini tidak dapat dipertahankan, karena ruang secara pasti akan menyusut.
Ketidaknyataan ruang menyatakan secara tidak langsung ketidaknyataan substansi tertentu didalamnya. Selanjutnya materi juga dianggap oleh Muhammad Iqbal bukanlah benda yang kokoh yang terdapat dalam ruang. Materi hanya ‘rangkaian’ kejadian yang saling berhubungan.[7]
4.      Moral
5.       



[1] A.Mustofa, Filsafat Islam (Bandung, Pustaka Setia, 1997) hlm, 330.
[2] Ibid, hlm 335.
[3] Ibid. hlm 332.
[4] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya MediaPratama Jakarta, 1999)  hlm, 184.
[5] Ibid, hlm, 185.
[6] Ibid, hlm 100.
[7] Ishrat Hasab Enver, Metafisika Iqbal (Yogyaarta: Pustaka Pelajar, 2004) hlm, 75.

0 opmerkings:

Plaas 'n opmerking