Pages

15 April 2015

Konsep Akad Nikah dan Pencatatan Nikah

Konsep Akad Nikah dan Pencatatan Nikah
  1. Pengertian Akad Nikah
Dalam kompilasi hukum Islam, akad nikah adalah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan qabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya.
Adapun syarat ijab dan qabul adalah:
  • Menggunakan kata yant terbentuk dari akar kata alif (yang bermakna saya). Ex: saya nikahkan, saya kawinkan.
  • Semua syarat dalam sighot ijab dalam jual beli
  • Tidak dikaitkan dengan perkara lain
  • Tidak dibatasi durasi waktu
  1. Dasar Hukum Akad Nikah
Landasan akad nikah harus didasari pada tiga hal:
  1. Keyakinan atau keimanan
  2. Islam
  3. Ihsan (prinsip taqarrub pada Allah)
  1. Pencatatan Nikah
  1. Prosedur pencatatan perkawinan
Masalah ini menjadi beban tugas bagi direktorat urusan agama Islam, yang dalam pelaksanaanya dilangsungkan secara vertikal sampai ke kantor urusan agama kecamatan yang mengurusi pencatatan nikah, talak, cerai, rujuk, dan lainya.
  1. Pencatatan perkawinan
Pencatatan ini dilakukan dengan cara
  • Pemberitahuan. Calon mempelai, atau wakil datang memberitahukan kehendak akan melangsungkan pernikahan. Lalu pengawas pernikahan menerima pemberitahuan kehendak.
  • Penelian. Pegawai pencatat meneliti calon suami, istri, dan wali nikah. Apabila memenuhi syarat perundangan, syarat dan rukun nikah maka pemberitahuan diterima. Dan apabila belum memenuhi, maka pegawai pencatat melakukan pencegahan.
  • Pengumuman. Setelah itu pegawai pencatat membuat surat pengumuman tentang adanya kehendak melangsungkan akad nikah yang ditempel di kantor kecamatan. Dan yang dicantum adalah:
  1. Nama. Umur, agama, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan orang tua. Apabila sudah menikah ditempelei pasangan terdahulu
  2. Hari, tanggal, jam, tempat pelaksanaan
  • Pelaksanaan. Sepeluh hari sejak pengumuman itu, pernikahan dilaksanakan, hal ini untuk menghindari ada pengajuan keberatan dan pencegahan terhadap pernikahan
  1. Pandangan mengenai pencatatan perkawinan
  1. Perspektig fikihh.
Ada beberapa analisa mengapa pencatatan ini tidak diberi perhatian oleh ulama fikih, karena:
- pertama, pada masa Islam dahulu terdapat larangan menulis selain al-qur’an
  • Orang muslim terdahulu biasa mengandalkan hafalan
  • Tradisi walimatul ‘ursy merupakan bukti adanya pernikahan
  • Pada masa awal Islam, pernikahan masih banyak didominasi oleh penduduk lokal.
Namun karena perkemangan zaman, adanya pergeseran kultur hafalan, yang mana harus ada bukti otentik yang dipercaya. Maka dari itu, salah satu pembaharuannya adalah pencatatanperkawinan
  1. Perspektif UU no 1 tahun 1974
Tiap-tiap perkawinan menurut peraturan perundangan yang berlaku
  1. Perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI)
  • Agar terjamin
  1. Perjanjian nikah
Maksudnya adalah persetujuan yang dibuat oleh kedua calon mempelai pada waktu atau sebelum melangsungkan perkawinan, yang mana hal ini hukumnya mubah. Namun yang jelas,perkawinan tidak bertentangan dengan syariat islam dan hakikat perkawinan. Jika ada pertentaangan, maka perjanjiannya tidak sah, namun akad nikahnya tetap sah.

Dasar Umum Pernikahan

Dasar Umum Pernikahan
Definisi Nikah
Kata nikah dalam bahasa Arab secara harfiah berarti mengumpulkan atau menyatukan. Sedangkan dalam fiqh nikah adalah akad yang menyebabkan kebolehan hubungan seksual antara suami dan istri dengan menggunakan lafal nikah, kawin, atau yang semakna lainnya.
Sedangkan definisi nikah menurut empat madzhab besar adalah:
  1. Hanafiyah : akad yang berguna untuk memiliki mut’ah dengan sengaja. Artinya seorang lelaki dapat menguasai perempuan dengan seluruh anggota badannya untuk mendapatkan kesenangan dan kepuasan.
  2. Syafi’iyyah : akad yang mempunyai arti memiliki, dalam arti seorang dapat memiliki atau mendapatkan kesenangan dari pasangannya.
  3. Malikiyah : akad yang mengandung arti mut’ah, untuk mencapai kepuasan dengan tidak mewajibkan adanya harga.
  4. Hanabilah : akad dengan lafaz tadzwij untuk mendapatkan kepuasan.

Dasar Hukum Nikah
Nikah disyari’atkan dalam agama, dan dalil-dalil pensyari’atan nikah dan hukumnya ada dalam beberapa surat Al-Qur’an:
  • An-Nisa ayat 3
  • An-Nur ayat 32
  • Az-Zariyat ayat 49
  • An-Najm ayat 45
  • An-Nisa ayat 1

Pandangan Islam terhadap Nikah
Dalam Islam, pernikahan merupakan suatu sunnah rasul dan sunnah Allah. Sunnat Allah berarti menurut iradat Allah dalam penciptaan alam ini, sedangkan sunnat Rasul adalah tradisi yang telah ditetapkan oleh dirinya sendiri dan untuk umatnya

Rukun dan Syarat Pernikahan
Rukun dan syarat merupakan suatu hukum yang menentukan sah atau tidaknya, yang harus terwujud dalam suatu perkawinan.
Ada lima rukun dalam pernikahan, yang mana tiap rukun mempunyai syaratnya sendiri-sendiri. Yaitu:
  1. Adanya mempelai laki-laki. Syaratnya:
  • Berkelamin laki-laki
  • Islam
  • Baligh dan berakal
  • Tidak sedang berihram haji atau umrah
  1. Mempelai wanita. Syaratnya:
  • Berkelamin perempuan
  • Islam
  • Halal untuk dinikahi
  • Tidak sedang berihram haji atau umrah
  1. Wali nikah/wali calon istri. Syaratnya:
  • Laki-laki
  • Baligh dan berakal
  • Islam
  • Merdeka
  • Tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah
  1. Ada saksi. Syaratnya:
  • Laki-laki
  • Baligh dan berakal
  • Minimal dua orang
  • Merdeka
  • Adil
  • Islam
  • Tidak sedang berihram haji atau umrah
  1. Adanya sighat/ijab qabul. Syaratnya:
  • Menggunakan lafal nikah/tazqij/kata terjemahannya
  • Sighat harus jelas, tidak meragukan atau menimbulkan kesalahpahaman
  • Sighat harus didengar oleh kedua belah pihak dan saksi
  • Antara ijab dan qabul harus saling sesuai dalam penyebutan calon istri dan mahar
  • Tidak boleh dihubungkan dengan syarat tertentu atau waktu di masa depan
Prinsip Pernikahan
Maksudnya adalah dasar atau norma yang harus dipegang oleh pasangan. Dalam buku “Islam tentang relasi suami dan istri” ada 5 prinsip menikah minimal. Yakni:
  1. Musyarah dan demokrasi
  2. Menciptakan rasa aman, nyaman, tentram dalam kehidupan keluarga
  3. Menghindari kekerasan
  4. Partner
  5. Keadilan
Hikmah Perkawinan
  • Menyambung silaturrahmi
  • Mengendalikan nafsu syahwat liar
  • Menghindari diri dari perzinaan
  • Estafeta amal manusia
  • Estetika kehidupan
  • Mengisi dan menyemarakkan dunia
  • Menjaga kemurnian nasab

11 April 2015

Wanita Berpolitik Dalam Pandangan Islam

Wanita Berpolitik Dalam Pandangan Islam
Pertanyaan klasik tentang boleh tidaknya seorang wanita menjadi kepala negara (pemegang jabatan), kembali mencuat. Salah satu topik pembicaraan hangat di kalangan Islam adalah keterlibatan perempuan dalam politik, yakni yang berkaitan dengan urusan negara dan masyarakat.
Pandangan Islam tentang wanita sangat jelas, Islam meletakkan wanita itu sejajar dengan pria, sesuai dengan kodratnya masing-masing. Baik pria maupun wanita memiliki hak dan kewajiban yang sama secara universal
Pada prinsipnya tidak ada perbedaan antara lapangan kerja wanita dan pria, karena kerja merupakan salah satu kebutuhna pokok manusia, kemajuan suatu bangsa diukur dari tingkat produktivitas kerjanya di segala lapangan kehidupan.
  1. Wanita dan Politik
Pandangan Islam tentang wanita sangat jelas, Islam meletakkan wanita itu sejajar dengan pria, sesuai dengan kodratnya masing-masing. Baik pria maupun wanita memiliki hak dan kewajiban yang sama secara universal.1
Politk diartikan antara lain sebagai urusan dan tindakan atau kebijakan mengenai pemerintahan negara atau negara lain. Politik juga berarti kebijakan dan cara bertindak dalam menghadapi dan menangani satu masalah, malah yang berkaitan dengan masyarakat maupun selainnya.
Salah satu pembicaraan hangat di kalangan sakian banyak anggota masyarakat Islam adalah keterlibatan perempuan dalam politik, yakni yang berkaitan dengan urusan negara dan masyarakat.
Banyak dalih yang dikemukakan oleh para penentang hak perempuan, baik dengan penafsiran ayat al-Qur’an dan hadits Nabi saw. Maupun dengan menunjuk beberapa hal yang berkaitan dengan perempuan yang mereka nilai sebagai kelemahan yang menghalangi mereka menyandang hak tersebut.
Mereka, misalnya, merunjuk kepada ayat:
الرِّجَا لُ قَوَّمُو نَ عَلىَ النِّسَاءِ
Lelaki adalah pemimpin-pemimpin perempuan” (QS. An-Nisa [4]: 34).
Mereka memahaminya bersifat umum, padahal memahami penggalan ayat di atas dalalm arti khusus-yakni kehidupan rumah tangga-justru lebih sesuai dengan konteks uraian ayat, apalagi lanjutan ayat tersebut menegaskan sebab kepemimpinan itu, yakni antara lain karena lelaki berkewajiban menanggung biaya hidup istri/keluarga mereka masing-masing.
Alhasil, tidak ditemukan dasar yang kuat bagi larangan tersebut. Justru sebaliknya ditemukan sekian banyak dalil keagamaan yang dapat dijadikan dasar untuk mendukung hak-hak perempuan dalam bidang politik. Salah satu ayat yang dapat dikemukakan dalam kaitan ini adalah QS. At-Taubah ayat 71:

وَالمُؤ مِنُو نَ وَ المُؤ مِنَتً بَعْضُهُم أولِياَ ء بَعضٍ, يَا مُرٌونَ بِا لمعرٌوفِ ويَنهَونَ عَنِ المثكَرِ وَ يُقِيمُون الصلو ةَ ويؤ تو ن الز كو ة ويطيعو ن الله ورسو له, اولئك سير حمهم الله, انّ الله عزيز حكيم
Orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah aulia bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh yang ma’ruf, mencegah yang mungkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasulnya. Mereka itu akan dirahmati Allah sesungguhnya Allah Maha Perkasa dan Maha Bijaksana”
Pengertian kata aulia disini mencangkup kerja sama, bantuan, dan penguasaan, sedangkan pengertian menyuruh yang ma’ruf mencangkup segala segi kebaikan atau perbaikan kehidupan, termasuk member nasihat atau kritik kepada penguasa. Dengan demikian, setiap lelaki dan perempuan hendaknya mengikuti perkembangan masyarakatnya agar masing-masing mampu melihat dan member saran atau nasihat dan kritik dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk kehidupan politik.
Al-Qur’an menguraikan permintaan para perempuan pada zaman Nabi Muhammad saw dan ajaran Islam. Permintaan ini terlaksana sebagai mana disebutkan dalam QS. Al-Mumtahanah ayat 12.
Diterimanya baiat para perempuan dapat menjadi bukti tentang hak mereka untuk menentukan pilihan atau pandangannya yang berkaitan dengan kehidupan serta kebebasan mereka untuk berbeda dengan kelompok yang lain dalam masyarakat, bahkan berbeda dengan pandangan suami atau ayah mereka sendiri. Kenyataan sejarah juga menunjukkan segian banyak perempuan yang terlibat dalam soal-soal politik praktis.2
  1. Peranan Wanita dalam Politik
Menurut Brunetta, peran ialah bagian yang dimainkan pada setiap keadaan, dan cara bertingkah laku untuk menyelaraskan diri dengan keadaan.3
Di tengah perkembangan peradaban manusia muncul fenomena kebebasan wanita serta kiprahnya dalam kehidupan sosial dan politik. Sebenarnya, fenomena seperti ini sudah ada pada zaman Rasulullah. Sekarang ini di Indonesia telah terjadi tuntunan untuk emansipasi wanita termasuk dalam kepemimpinan di dalam bidang politik dan kenegaraan.4
Ketika berbicara tentang peran politik wanita dalam Islam berarti berbicara tentang peran wanita sebagai bagian bari masyarakat. Islam memandang bahwa wanita sebagai bagian dari masyarakat memiliki kewajiban yang sama dengan laki-laki untuk mewujudkan kesadaran politik pada diri wanita sendiri maupun masyarakat secara umum.
Dalam Islam tidak menjadi masalah apakah posisi seseorang sebagai penguasa ataupun rakyat biasa. Keduanya bertanggung jawab dalam mengurusi umat, yaitu penguasa sebagai pihak yang menerapkan aturan untuk mengurusi umat secara langsung dan umat akan mengawasi pelaksanaan pengaturannya. Keduannya berkewajiban memajukan umat dan memiliki tanggung jawab yang sama untuk menyelesaikan problematika umat baik problem laki-laki maupun wanita, karena problem ini dipandang sebgai problem yang satu yaitu problem manusia.
Ketika kaum muslimin (laki-laki dan perempuan) berrpaya memfungsikan segenap potensinya untuk mengurusi dan menyelesaikan problematika umat, berarti telah melakukan peran politik. Oleh karena itu, wanita dapat melakukan peran politik meskipun tidak menjadi penguasa (penentu kebijakan).5
Seruan Allah dalam hal aktivitas perempuan di dunia politik secara umum mempunyai implikasi pada hukum yang berkaitan dengan wanita dalam kedudukannya sebagai individu manusia, islam menetapkan hokum yang sama antara pria dan wanita dalam masalah kewajiban berdakwah (amar ma’ruf nahi munkar), kewajiban menuntut ilmu serta kewajiban menunaikan ibadah-ibadah ritual (mahdhah).
  1. Hukum Politik Wanita
Keterlibatan dalam politik adalah wajib bagi kaum muslimin, baik laki-laki maupun perempuan. Rasulullah saw bersabda, “siapa saja bangun di pagi hari dan perhatiannya kepada selain Allah, maka ia tidak berurusan dengan Allah. Dan barangsiapa yang bangun pagi dan tidak memperhatikan urusan kaum muslimin, maka ia tidak termasuk golongan mereka (kaum muslimin).” (HR Hakim dan Al Khatib dari Hudzaifah r.a.)
jihad yang paling utama adalah menyatakan kebenaran kepada penguasa yang dzalim.” (HR Abu Dawud)
penghulu syuhada adalah Hamzah bin Abdul Mutholib dan (setara dengannya) seorang yang berdiri ke depan penguasa yang dzalim menyerukan kepadanya untuk berbuat baik (melarangnya berbuat mungkan) kemudian ia dibunuh”
Allah swt berfirman:
ولتكم منكم أمّة يدعون إلى الخير ويأ مرون با لمعروف وينهون عن المنكر. وأولئك هم المفلحون
Dan hendaklah ada diantara kalian umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran: 104)
Hadis-hadis dan ayat Al-Qur’an tersebut menunjukkan bahwa keterlibatan dalam politik merupakan kewajiban bagi kaum muslimin. Hal ini ditunjukkan oleh adanya celaan bagi yang tidak memperhatikan urusan umat dalam hadis pertama. Kata man, rijal, dan kum “(adalah umum yang berarti seruan) dalam hadis dan Al-Qur’an tersebut ditujukan secara umum kepada kaum muslimin baik laki-laki maupun perempuan. Oleh karena itu, siapa saja, termasuk muslimah harus memiliki kepedulian terhadap masalah politik yaitu pengaturan urusan umat.6
Pendapat yang membolehkan wanita menjadi pemimpin negara juga dari Ahmadiyah, Naib Amir Ahmadiyah Indonesia, H. Suyuti Azis, memandang tidak ada perbedaan antara wanita dan pria, karena dalam pandangan Allah terletak pada ketakwaan seseorang. Tidak masalah jika perempuan menjadi pemimpin negara.7













1 RAy. Sitoresmi Prabuningrat, Sosok Wanita Muslimah, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, cet 2 1997), hal. 8

2 M. Quraish Syihab, Perempuan, (Tangerang: Lentera Hati, cet. 5 2009), hlm. 377-382.

3 Ray. Sitoresmi Prabunigrat, Op. Cit, hal 56

4 Agus Purwadi, Islam dan Gender, (Yogyakarta: Aditya Media, 2000), hal. 191

5 Siti Muslikhati, Op. Cit, hal. 139-140

6 Siti Muslikhati, Ibid, hal 137

7 Areif Subhan, dkk, Citra Perempuan dalam Islam: Pandangan Oras Keagamaan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal 126





TRANPLANTASI ORGAN TUBUH DALAM PANDANGAN ISLAM

TRANPLANTASI ORGAN TUBUH DALAM PANDANGAN ISLAM

Tranplantasi merupakan proses pemindahan organ tubuh yang sehat untuk menggantikan organ tubuh yang kurang sehat. Dalam pelaksanaannya ada tiga pihak, pendonor, resipien (penerima), dan tim dokter.
Dalam teks fiqih klasik, hampir tidak ada yang membahas permasalahan ini. Namun ada beberapa teks yang membahas hukum perlakuan jasad manusia dalam jual beli. Keterangan dalam fiqih klasik menyatakan bahwa hukum dasar memanfaatkan anggota tubuh baik dalam menjual maupun membeli adalah haram. Adapun pengecualian untuk memanfaatkan tubuh manusia menjadi perselisihan antara ahli fiqh.
  1. Pandangan yang menentang
Dua ulama’ Mufti Muhammad Syafi’i dari Mesir da Dr. Abd al-Salam dari mesir menggunakan tiga prinsip dasar penentangan:
  • Kesucian tubuh
  • Tubuh manusia sebagai amanah
  • Tidak diperbolehkan memperlakukan organ tubuh sebagai benda material.
  1. Pendapat yang mendukung
Para ulama’ yang mendukung berpendapat bahwa hal ini harus dipahami sebagai layanan saling menolong antar manusia. Ada beberapa dasar pendirian mereka terkait transplantasi organ
  • Kesejahteraan politik, karena kebaikan bersama yang akan muncul menjadi sesuatu yang lebih berbobot daripada aspek negatifnya. Namun jika sisi negatifnya lebih banyak, maka dilarang.
  • Alturisme, agama menganjurkan tolong-menolong, termasuk mendonorkan organ tubuh.
  • Organ tubuh non muslim, jika seorang muslim tidak bisa memperoleh organ yang dibutuhkan dari sesama muslim, maka tindakan itu diperbolehkan.

Kaidah hukum Islam
Masalah ini memang masalah yang sangat mungkin untuk didiskusikan lebih banyak lagi, karena ini merupakan masalah kontemporer yang tidak dibahas ulama’ terdahulu. Dalam kaitan ini, tidak ada seorang pun ahli fiqh yang menganggap pendapatnya paling benar.
Dalam kaidah fiqh ada istilah “menolak kerusakan, lebih didahulukan daripada menarik kebaikan”.
Oleh karena itu, terkait kaidah diatas, syarat-syarat pembolehan donor organ tubuh adalah:
  • Kemampuan para ahli untuk memprediksi bahaya yang akan menimpa pendonor dengan cara prediksi menggunakan ukuran ilmiah yang tepat.
  • Tim ahli juga bisa memprediksi bahaya apa yang akan menimpa pendonor dengan ukuran ilmiah yang tepat pula.
  • Tim ahli mampu mempredksi apa yang akan terjadi pada pendonor.
  • Hasil perbandingan antara kebaikan dan keburuan dapat diketahui dengan jelas bahwa manfaat pendonora organ akan lebih besar daripada dibiarkan tanpa ada tranplantasi organ.
  • Jika ada jalan lain, tranplantasi tidak diperbolehkan.
  • Tranplantasi tidak bleh menghilangkan hak Allah atas anggota badan pendonor.
  • Penerima donor harus terjaga darahnya secara syari’at, yaitu orang Islam.
  • Tranplantasi tidak boleh ada pelecehan terhadap kehormatan manusia.
  • Pendonor harus paham proses ini, tahu apa yang akan terjadi setelahnya.

Catatan
  • Melakukan pendonoran ketika seseorang dalam keadaan koma hukumnya haram, karena akan mempercepat kematian dan mendahului kehendak Allah.
  • Mengambil organ tubuh dari orang yang sudah meninggal hukumnya mubah, asal prosesnya harus dalam keadaan darurat bagi orang yang membutuhkan organ tubuh. Alasan diperolehkan ini sesuai dengan kadidah fiqh “darurat akan memperbolehkan sesuatu yang diharamkan”.

Refensi:
Kutbuddin Aibak, Kajian Fiqh Kontemporer (Yogyakarta:Teras, 2009)
M. Nu’aim Yasin, Fiqh kedokteran (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008)

Definisi Ijarah atau Sewa-menyewa

Ijarah atau Sewa-menyewa
  1. Pengertian ijarah
Secara etimologis, ijarah adalah upah sewa yang diberikan kepada seseorang yang telah mengerjakan satu pekerjaan sebagai balasan atas pekerjaannya. Sedangkan secara terminologis, pengarang Mughni Al-Muhtaj mendefinisikan ijarah sebagai transaksi atas manfaat dari sesuatu yang telah diketahui, yang mungkin diserahkan dan dibolehkan, dengan imbalan yang juga telah diketahui. Sementara menurut Al-Qaduri mendefinisikannya sebagai transaksi atas berbagai manfaat (sesuatu) dengan memberikan imbalan.
Menurut Dr. Muhammad Syafi’i Antonio, ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang dan jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyah) atas barang itu sendiri.

  1. Macam-macam Ijarah/Sewa-menyewa
Ijarah terdiri dari dua macam, yaitu ijarah ‘ain (sewa langsung) dan ijarah dzimmah (sewa tidak langsung).
  1. Ijarah ‘ain adalah sewa atas manfaat dari sesuatu yang sudah tentu (secara langsung manfaatnya didapat dari barang yang disewa) misalnya, seseorang berkata “aku sewakan rumah ini atau mobil ini,” saat menyewa mobil tertentu yang sudah diketahui oleh dua orang yang bertransaksi.
  2. Ijarah dzimmah adalah sewa atas manfaat dari sesuatu yag dikuasai (dioperasikan atau diatur) seseorang (bukan dari barangnya secara langsung). Misalnya, menyewa seseorang untuk mengantar kesuatu tempat menggunakan mobl yang tengah dioperasikannya atau menyewakan mobil yang dioperasikannya untuk jangka waktu tertentu. Singkatnya menyewa sopir pribadi.

  1. Berakhirnya Akad Ijarah
Transaksi ijarah berakhir dan hukum-hukumnya tidak berlaku lagi karena hal-hal berikut:
  1. Al Faskh (Pembatalan)
Ijarah adalah jenis akad yang mengikat dua belah pihak. Artinya, setelah akad ini sah, orang yang menyewakan atau yang menyewa tidak boleh membatalkan akad semaunya sendiri. Akad ini juga tidak boleh dbatalkan, kecuali karena ada uzur (alasan logis dan syar’i). Jika akad batal, proses ijarah-nya pun berhenti. Diantara uzur-uzur yang dapat dibatalkan akad ijarah adalah sebagai berikut:
  1. Rusaknya barang yang disewakan dalam jenis ijarah ‘ain (sewa langsung). Bila seseorang menyewa rumah atau mobil yang sudah ditentukan, kemudian rumah itu rusak atau mobil itu mogok sebelum digunakan, akad ijarah batal karena hilangnya objek yang diakadkan.
Jika jenis ijarahnya adalah ijarah dzimmah (sewa tidak langsung), seperti seorang menumpang mobil untuk mengantarkannya ke suatu tempat, kemudian mobil mogok atau rusak ditengah jalan, transaksi sewanya tidak batal. Pemilik mobil harus mencari mobil penggantinya, baik sebelum penyewa mendapatkan manfaat maupun baru mendapatkan sebagiannya, karena objek yang ditransaksikan tidak hilang karena rusaknya mobil. Singkatnya adalah penumpang yang menyewa kendaraan melalui jasa biro, sopirnya juga dari biro jasa. Jika ada apa-apa, yang tanggungjawab biro atau pemilik kendaraan.
  1. Jika waktu sudah habis, dan orang yang menyewakan belum menyerahkan barang sewaannya, ijarahnya batal. Demikian pula jika ijarahnya adalah ijarah dzimmah dan orang yang disewa tidak dapat menghadirkan manfaat sesuai ketentuan waktu yang disepakati, transaksi itu batal.

  1. Bentuk Pelanggaran Transaksi Ijarah
Perselisihan antara mu’jir (penyewa) dan musta’jir (orang yang menyewakan) antara lain:
  1. Klaim kerusakan. Barang sewaan rusak selama digunakan penyewa. Penyewa mengklaim bahwa barang tersebut rusak bukan karenanya, melainkan rusak dengan sendirinya oleh sebab-sebab yang berada di luar kuasanya atau kerusakan terjadi karena sebab-sebab yang biasa terjadi. Sementara itu orang yang menyewakan mengklaim bahwa barang tersebut rusak karena pemakaian yang berlebihan oleh penyewa atau kurang perawatan dan tidak dijaga dengan baik. Dalam kasus ini, yang dijadikan pegangan adalah klaim penyewa, lalu dikuatkan dengan sumpahnya karena orang yang menyewakan mengklaim telah terjadi perlakuan yang melampaui batas, sedangkan penyewa menyangkalnya.
  2. Klaim pengembalian barang. Penyewa mengklaim sudah mengembalikan barang yang disewanya. Namun, orang yang menyewakan mengingkarinya. Dalam kasus ini, klaim yang diambil adalah klaim orang yang menyewakan karena barang yang disewakan sedang berada di tangan penyewa untuk dimanfaatkan. Status asalnya belum dikembalikan. Saat penyewa mengklaim sudah mengembalikan, sedangkan orang yang menyewakan menyangkalnya, maka yang dipegang adalah pengakuan pihak yang menyangkal. Dalam hal ini adalah orang yang menyewakan yang dikuatkan dengan sumpahnya karena yang diklaim adalah status asalnya.1

1 Musthafa Dib Al-Bugha, Op Cit,. hlm. 177-178.

Konsep Kafa’ah dalam Islam

Konsep Kafaah dalam Islam
  1. Kafa’ah
Kafa’ah artinya sepadan atau setingkat. Disebut pula dengan istilah kufu’. Yang dimaksud dengan sepadan adalah keadaan dua pasangan suami-isteri yang memiliki kesamaan dalam beberapa hal yaitu:
  1. Keduanya beragama islam
  2. Memiliki rupa yang tampan dan cantik
  3. Keduanya dari turunan yang baik
  4. Keduanya orang kaya
  5. Keduanya berpendidikan dan sebagainya
Dalam ajaran islam, kesepadanan yang harus dikejar oleh kedua calon suami-isteri adalah kesepadanan dalam agama. Karena agama merupakan penentu stabilitas rumah tangga. Dari kesepadanan itulah maka orang islam diharamkan menikah dengan orang musyrik dan ahli kitab yang juga telah musyrik.1
Pandangan mazhab-mazhab tentang kafa’ah
  1. Kafa’ah menurut mazhab Hanafi
Kafa’ah adalah kesepadanan si lelaki bagi si wanita dalam hal-hal khusus, yang jumlahnya enam, yaitu nasab, islam, pekerjaan, kemerdekaan, keagamaan dan harta.
Nasab terletak pada bangsa atau sukunya, karena manusia terbagi menjadi dua, yaitu Ajam dan Arab. Arab terdiri atas dua golongan yaitu Quraisy dan Non-Quraisy.
Orang Quraisy kufu diantara sesamanya. Meskipun si lelaki muslim dan ayahnya bukan muslim sedang perempuan muslimah dan ayahnya juga muslim. Tidak ada masalah dalam hal kemerdekaan karena orang arab tidak boleh diperbudak.
Adapun bagi orang ajam berlaku nasabnya dalam keislaman dan kemerdekaan, hanya terbatas dalam kedua hal itu. Karena itu, lelaki yang muslim ayahnya non muslim tidaklah kufu dengan perempuan yang muslimah dan ayahnya muslim. Beitu juga, dengan lelaki yang merdeka tetapi ayahnya budak, tidaklah kufu bagi perempuan yang merdeka juga ayahnya merdeka.
Lelaki ajam yang berilmu adalah kufu bagi perempuan arab yang bodoh. Kafa’ah dalam pekerjaan hendaklah pekerjaan laki-laki sepadan dengan pekerjaan keluarga si istri berdasarkan urf dan adat. Kafa’ah dalam keagamaan berlaku bagi kalangan ajam dan arab. Lelaki fasik tidak kufu bagi perempuan sholeh anak dari lelaki sholeh. Tetapi apabila ayah dari perempuan itu fasik, maka tidak ada hhak untuk menolak pekawinan dengan laki-laki yang fasik.
  1. Kafaa’ah menurut Syafi’i
Bahwa kafa’ah harus ada. Tidak adanya kafa’ah (dalam perkawinan) adalah aib. Patokannya adalah persamaan dan kesempurnaan. Pertimbaangan kafa’ah ada 4 jenis :
Nasab
Manusia terbagi menhjadi 2 golongan, arab dan ajam. Orang arab terdiri dari 2 golongan, Quraisy dan bukan quraisy. Orang Quraisy kufu dengn sesamanya, tetapi Quraisy bni Hasyim hanya se-kufu antara sesama mereka.
Agama
Lelaki harus sama dengan si perempuan dalam kesucian dan istiqomah. Apabila si lelaki fasik pezina, maka ia tidak kufu’ bagi perempuan yang suci, walaupun si lelaki telah bertobat. Tetappi apabila si lelakifasik selain fasik zina kemudian ia telah bertobat, maka ia kufu’ bagi perempuan istiqomah.
Huriyah/ kemerdekaan
Lelaki yang termasuk kalangan hamba sahaya mengandung cacat, maka mereka tidak kufu’ bagi perempuan yang bukan budak. Ini berlaku dkalangan ayah. Bukan ibu. Laki-laki yang lahir sebagai budak tidak kufu’ bagi perempuan yang ayahnya orang merdeka.
Khifah/ profesi
Lelaki pemilik pekerjaan rendah, tidak kufu’ bagi perempuan yang ayahnya memiliki pekerjaan yang terhormat. Dan lelaki dari kalangan pekerja khadam atau pelayan tidak kufu’ bagi perempuan anak pedagang, dan anak lelaki pedagang tidak kufu’ bagi perempuan orang berilmu atau kadi, dlihat dari segi adat masyarakat.
  1. Kafa’ah menurut mazhab Hambali
Kafa’ah adalah kesamaan dalam lima hal. Pertama keagamaan. Pendosa fasik tidaklah kufu’ bagi perempuan yang saleh dan suci. Kedua, pekerjaan. Pemilik pekerjaan hina atau rendah tidaklah kufu’ bagi pemilik pekerjaan mulia. Ketiga, kelapangan dalam harta, termasuk apa yang diwajibkan baginya dalam hal mahar dan nafkah. Keempat kemerdekaan. Tidaklah lelaki budak tidak kufu’ bagi perempuan merdeka. Kelima nasab. Maka lelaki ajam yang bukan Arab tidaklah kufu’ bagi perempuan Arab.
  1. Kafa’ah menurut Mazahab Maliki
Masalah kafa’ah dalam pernikahan ada dua. Pertama, keagamaan, yakni muslim bukan fasik. Kedua bebas dari aib-aib yang ditentukan si perempuan bagi calon suaminya
Kafa’ah. Dalam hal harta, kemerdekaan, nasab, dan pekerjaan, tidaklah muktabar (diakui). Apabila seorang lelaki rendahan menikah dengan seorang wanita mulia sebagaimana wanita muslim maka perkawinan itu sah.2

1 Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat (Buku II), (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), hlm. 200.

2 M. Hasyim Assegaf, Derita Putra Putri Nabi studi kasus kafa’ah syarifah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 45-54.

Konsep meminang dalam Islam

Konsep meminang dalam Islam
  1. Khitbah atau Pinangan
Meminang artinya menyatakan permintaan untuk menikah dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan atau sebaliknya dengan perantaraan seseorang yang dipercayai. Menurut Rahmat Hakim, meminang atau khitbah mengandung arti permintaan, yang menurut adat adalah bentuk pernyataan dari suatu pihak kepada pihak lain dengan maksud untuk mengadakan ikatan pernikahan. Khitbah ini pada umumnya dilakukan oleh pihak laki-laki terhadap perempuan. Namun, ada pula yang dilakukan oleh pihak perempuan.
Dalam kompilasi hukum islam (KHI) dijelaskan dalam Bab III passal 12 ayat (2), (3), dan (4) yang selengkapnya dalam ayat 2 sebagai berikut: “wanita yang ditalak suami, seorang wanita dalam iddah raj’i haram dan dilarang untuk dipinang. Dalam ayat 3, dinyatakan bahwa dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang orang lain, selama pinangan tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita. Dalam ayat 4 putusnya pinangan pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya pinangan atau secara diam-dam pria yang telah meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang.1
  1. Orang-orang yang boleh dipinang
Pada dasarnya peminangan itu adalah proses awal dari suatu perkawinan. Dengan begitu perempuan-perempuan yang secara hukum syara’ boleh dikawini oleh seseorang laki-laki boleh dipinang. Tidak boleh meminang seseorang perempuan yang masih punya suami, meskipun dengan syarat akan dinikahinya pada waktu dia telah boleh dikawini.
Perempuan-perempuan yang telah dicerai suaminya dan sedang menjalni iddah raj’i, sama keadaannya dengan perempuan yang sedang punya suami dalam hal ketidak bolehannya untuk dipinang baik dengan bahasa terus terang atau bahasa sindiran.
Perempuan yang sedang menjalani iddah karena kematian suaminya, tidak boleh dipinang dengan menggunakan bahasa terus terang, namun boleh dipinang dengan bahasa sindiran. Hal ini dijelaskan dalam Q.S.Al Baqarah ayat 235, yang artinya “Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu”.
Perempuan yang sedang menjalani iddah dari talak bain dalam bentuk fassah atau talak tiga tidak boleh dipinang secara terus terang, namun dapat dilakukan dengan cara sindiran. Disamping perempuan yang bersuami atau yang telah putus perkawinannya sebagaimana yang disebutkan diatas, juga tidak boleh meminang perempuan yang sudah dipinang oleh orang lain.
  1. Melihat perempuan yang dipinang
Waktu berlangsungnya peminangan laki-laki yang melakukan peminangan diperbolehkan melihat perempuan yang dipinangnya, meskipun menurut asalnya seseorang lak-laki haram melihat kepada perempuan. Kebolehan melihat ini didasarkan pada hadis Nabi dari Jabir menurut riwayat Ahmad dan Abu Dawud dengan sanad yang dipercaya yang bunyinya:

اذا خطب احد كم المراة فان استطاع ان ينظر منها ما يدعو الى نكاحها فيفعل
Artinya:
bila seseorang diantara kamu meminang perempuan dan ia mampu melihatnya yang akan mendorong untuk menikahinya, maka lakukanlah.”
  1. Batas yang boleh dilihat
Meskipun hadis nabi menetapkan boleh melihat perempuan yang dpinang, namun ada batasan-batasan yang boleh dilihat. Dalam hal ini terdapat beda pendapat di kalangan ulama. Jumhur Ulama menetapkan bahwa yang boleh dilihat hanyalah muka dan telapak tangan, hal ini dasarkan pada hadis nama dari Khalid Ibnu Duraik dari Aisyah menurut riwayat Abu Dawud;

ان ا سما ء بنت ابي بكر د خل عل ا لنبي صل ا لله عليه و سلم و عليها ثيا ب ر قا ق فا عر ض عنها و قا ل ا ن ا لمرا ة ا ذ ا بلغت المحيض لم يصلح لها ان يري منها الا هذاوهذاو اشارالي و جهه و كفيه

Artinya:
Asma binti Abu Bakar masuk ke rumah Nabi sedangkan ia memakai pakaian yang sempit, Nabi berpaling daripadanya dan berkata: “Hai Asma’, bila seorang perempuan telah haid, maka tidak boleh terlihat kecuali ini dan ini. Nabi mengisyaratkan kepada muka dan telapak tanganya.”
Ulama lain seperti Al-Auza’iy bependapat boleh melihat bagian-bagian yang berdaging. Daud Zhahiri berpendapat bahwa boleh melihat semua badan. adapun waktu melihat perempuan itu adalah saat menjelang menyampaikan pinangan, bukan setelahnya, karena bila ia tidak suka setalh melihat ia akan dapat meninggalkannya tanpa menyakitinya.2
  1. Hukum Peminangan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
  1. Pasal 11
Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang beekehendak mencari pasagan jodoh, tapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya.
  1. Pasal 12
1). Pemingan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan, atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya.
2). Wanita yang di talak suami yang masih berada dalam massa iddah Raj’iyah, haram dan dilarang untuk dipinang.
3). Dilarang juga untuk meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita.
4). Putusnya pinangan pihak pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang telah dipinang.
c. Pasal 13
1). Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan.
2). Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tatacara yang baik sesuai dengan tuntutan agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai.3

1 Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat (Buku I), (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), hlm. 146-148.

2 Amir Syarifudin, Garis-garis Besar Islam,( Jakarta: PRENADA MEDIA, 2003) hlm.83-86

3 M. Ali Hasan, pedoman hidup berumah tangga dalam Islam,(Jakarta: Siraja Prenada Media Grup, 2006) hlm.29-31

Bayi Tabung Dalam Pandangan Fiqh

BAYI TABUNG DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Bayi tabung sering disebut sebagai sel telur yang dibuahi oleh sperma yang sudah siap untuk diletakkan kedalam rahim seorang ibu.
Dalam ajaran Islam, hadirnya keturunan merupakan kehendak dari Allah bagi setiap hamba-Nya. Setiap manusia yang beriman wajib berusaha mendapatkannya, entah melalui proses alami maupun usaha medis seperti bayi tabung.
Sebagai informasi, ada dua macam insemasi (pembuahan secara teknologi, bukan alamiah).
  • Insemasi heterolog,pembuahan yang selnya bukan berasal dari suami-istri yang sah
  • Insemasi homolog, insemasi yang berasal dar sel air mani suami istri sah.
Adapun dalam bukunya Dr. Abdurrahman Muhammad Faudah “fatwa-fatwa medis kontemporer” ada lima proses bayi tabung yang diharamkan :
  1. Pengawinan antara sperma suami dan sel telur dari perempuan lain, lalu hasilnya diletakkan di rahim istrinya sendiri.
  2. Pengawinan sel telur wanit dengan sperma lelaki yang bukan suaminya, lalu hasilnya diletakkan di rahim wanita tersebut.
  3. Pengwaninan antara sel sperma suami dan sel telur istri yang dilakukan di luar rahim, lalu hasilnya diletakkan di wanita lain yang rela untuk mengandungnya.
  4. Pengawinan sperma suami dan sel telur wanita lain di luar rahim, lalu hasil diletakkan di rahim istri.
  5. Pengawinan sperma suami dan sel telur istri, lalu diletakkan di istri yang lain (maksudnya hasil diletakkan di istri ke dua atau ketiga bagi suami yang poligami).

Kaidah Fiqh
Hajat (kebutuhan yang sangat penting itu) diperlukan seperti dalam keadaan terpaksa (emergenci), padahal darurat atau terpaksa itu membolehkan melakukan hal-hal yang terlarang.

Dari kaidah Fiqh di atas, maka untuk memenuhi kebutuhan dalam memperoleh keturunan melalui insemasi buatan “dibolehkan” karena ada faktor yang akhirnya diberi keringanan oleh agama
Maka dari itu, menimbang maslhahah dan mafsadah yang dapat muncul dari bayi tabung, majels ulama Indonesia (MUI) memutuskan:
  • Bayi tabung dari suami istri yang sah hukumnya boleh.
  • Bayi tabung yang diletakkan di istri yang lain hukumnya haram.
  • Bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal hukumnya haram, karena akan menimbulkan masalah dalam kewarisan.
  • Bayi tabung hasil dari bukan pasangan suami istri yang sah hukumnya haram karena statusnya sama dengan zina.

Asuransi Dalam Perspektif Islam

Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam
Di zaman yang sudah semakin modern ini, di tengah-tengah geliat ekonomi yang semakin berkembang pusat, mau tidak mau seseorang harus lebih ekstra dalam memikirkan dirinya sendiri. Dan fenomena yang merebak akhir-akhir adalah praktik asuransi yang ada di lingkungan masyarakat.
Sebuah fenomena dimana seseorang memberikan sebagian harta bendanya pada pihak tertentu untuk menanggung beban yang dihadapi di kemudian hari. Sebagai contohnya adalah asuransi jiwa, asuransi yang dimana seseorang membayar sejumlah nominal pada pihak tertentu untuk menanggung beban yang dihadapi orang itu jika ada suatu kejadian yang tidak terkira di waktu-waktu berikutnya.
Sebuah fenomena yang tujuannya adalah mengalihkan risiko yang ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa yang tidak diharapkan kepada orang lain yang bersedia mengambil risiko itu dengan mengganti kerugian yang dideritanya. Sedangkan penanggung akan menghitung jumlah yang harus ditanggung jika ada anggota yang meminta pertanggungan. 1
Kebiasaan baru seperti ini, dimana seseorang sudah memprediksi atau waspada dengan masa depan yang akan dijalani dengan membayar sejumlah uang, yang juga bisa saja tidak terjadi apa-apa di kemudian hari. Dalam kata lain, asuransi merupakan proses perpindahan risiko yang ketidakpastiannya mencakup apakah kerugian akan muncul, kapan terjadinya, seberapa besar dampaknya, dan berapa kali kemungkina terjadi kerugian.2
Melihat fenomena seperti ini, apakah asuransi merupakan sesuatu yang baik dalam perspektif hukum Islam?.

  1. Hukum
Masalah asuransi dalam pandangan ajaran islam termasuk masalah ijtihadiyah, artinya hukum perlu dikaji sedalam mungkin karena tidak dijelaskan oleh Alqur’an dan hadist secara eksplisit. Para imam mujtahid seperti imam Hanafi, imam Maliki, imam Hambali, imam Syafi’i tidak memberikan fatwa mengenai asuransi karena pada saat itu asuransi belum dikenal.
Dikalangan ulama atau cendekiawan muslim terdapat empat pendapat tentang hukum asuransi, yaitu:
  1. Mengharamkan asuransi dalam segala macam dan bentuknya, termasuk asuransi jiwa.
Kelompok ini adalah Sayyid Sabi, Yusuf al-Qardhawi, karena menganggap asuransi pada hakikatnya sama dengan judi, mengandung unsur tidak jelas, riba, hidup dan matinya manusia dijadikan objek bisnis.
  1. Membolehkan semua asuransi dalam prakteknya sekarang ini.
Kelompok ini adalah Abdul Wahab Khalaf, Muhammad Yusuf Musa. Alasannya karena menganggap tidak ada nash larangan dalam Alqur’an dan Hadis, ada kerelaan antara penanggung dan tertanggung yang berjanji, menguntungkan kedua belah pihak, termasuk akad mudhorobah, dan menjaga manusia dari kecelakaan harta benda, kekayaan, dan kepribadian.
Asuransi juga termasuk syirkah, yang mana syirkah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan konstribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuangan dan risiko ditanggung bersama.3
  1. Membolehkan asuransi yang bersifat sosial dan mengharamkan yang bersifat komersial
  2. Asuransi hukumnya syubhat karena tidak ada dalil yang jelas-jelas mengharamkan atau menghalalkan. Konsekuensinya adalah umat Islam dituntut untuk berhati-hati terhadap asuransi, dan baru diperbolehkan menjadi polis atau mendirikan perusahaan asuransi apabila dalam keadaan darurat. 4

Dari macam-macam bentuk asuransi diatas, asuransi bisa masuk dalam akad jaminan. Asas hukumnya adalah.
حَديث أبي هريرة صلّى الّله عليه وسلّم أنّ رسول الّله صلّى الّله عليه وسلّم كَانَ يُؤْتَي بالرَّجُلِ المَيِّتِ عَلَيْهِ الدَّيْنُ فَيَسْئَلْ هَلْ تَرَكَ لِدَيْنِهِ مِنْ قَضَاءٍ فَإِنْ حُدِّثَ اَنَّهُ تَرَكَ وَفَاءَ صَلَّي عَلَيْهِ وَإِلاَّ قَالَ صَلُّوْا عَلَي صَاحِبِكُمْ فَلَمَّا فَتَحَ الّله عليه الفُتُوْحُ قَالَ أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِيْنَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ فَمَنْ تُوُفِّيَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَعَلَيَّ قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَلاً فَهُوَ لِوَرِثِهِ
Diriwayatkan dari Abi Hurairah ra.: Bahwasanya pernah ada jenazah seorang lelaki yang mempunyai hutang dihadapkan kepada Rasulullah SAW. Maka baginda bertanya: apakah si mayyit ini meninggalkan sesuatu untuk membayar hutangnya? Sekiranya baginda beritahu bahwa orang tersebut meninggalkan sesuatu untuk membayar hutangnya, maka baginda akan mendirikan shalat untuk jenazahnya. Sekiranya dia tidak meninggalkan sesuatu, maka baginda bersabda: shalatkanlah temanmu itu. Setelah Allah memberikan kemudahan kepada baginda dalam menamklukka negeri, baginda bersabda: Aku lebih berhak terhadap orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri. Karena itu, barang siapa yang mati dan meninggalkan utang maka akulah yang akan membayarnya dan barang siapa yang mati meninggalkan harta, maka harta itu untuk ahli warisnya.

Hubungannya dengan asuransi, dalam asuransi memang seolah-olah ada pihak penjamin, yakni perusahaan asuransi. Sedangkan yang dijamin adalah nasabah, dan yang menerima jaminan tergantung jenis asuransi. Jika asuransi kecelakaan, maka penerima jaminan adalah nasabah itu sendiri,
Namun dalam aturan asuranasi konvensional, ada tiga hal yang menjadi titik berat. Pertama adalah unsur gharar atau ketidakpastian. Kedua unsur maysir atau untung-untungan. Ketiga adalah riba
Oleh karena itu agar tidak terjadi tiga hal itu, jalan alternatifnya adalah asuransi syari’ah takaful. Asuransi yang dimana berjalan sesuai prinsip-prinsip syari’ah dalam fiqh muamalah yang menyangkut jaminan, syirkah, bagi hasil, dan takaful. Maksud dari takaful disini adalah asuransi yang saling menanggung antara peserta dengan perusahaan asuransi.
Selain itu takaful sebagai jalan alternatif itu karena dalam takaful nasabah diberi tahu dari mana dana yang diterimanya berasal bila ia meninggal atau mendapat musibah. Beda dengan asuransi konvensional yang jika peserta mengundurkan diri sebelum jangka waktunya premi yang dibayarkan dianggap hangus, atau hanya bisa diambil sebagian kecil saja.5
  1. Kaidah Ushul Fiqh
Asuransi merupakan akad perjanjian yang melibatkan kepentingan yang dapat diasuransikan, prinsip penjamin dan nasabah yang didalamya ada klausul-klausul yang ditentukan oleh para pihak sepenuhnya, yang didalamnya ada kebebasan untuk membentuk dan menentukan klausul dalam perjanjian, dalam hukum Islam asas kebebasan berkontrak ini merupakan suatu prinsip bahwa orang bebas untuk membuat perjanjian seperti apapun. Selain itu hukum Islam juga menganut asas kebebasan berkontrak. Seperti dalam firman Allah:
يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا أَوْفُوْ بِالْعُقُعُوْدِ
Dari ayat ini disimpulkan tentang asas kebebasan berkontrak, perintah dalam ini menunjukkan bahwa memenuhi akad-akad itu hukumnya wajib, baik akad yang bernama maupun akan yang tidak bernama.6
Penerapanya dalam asuransi, yang akad-akadnya termasuk dalam kategori mu’amalah dan tidak ada hukum secarajelas. Maka aktivitas asuransi boleh hukumnya, sesuai dengan prinsip ekonomi Islam yang disebut dengan asas kebolehan (ibahah). Hal ini didasarkan pada kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
الاَصْلُ فِيْ الاَشْيَاءِ الاِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمُ
Hukum asal setiap perkara hukumnya boleh hinga ada dalil yang mengharamkannya.

  1. Hukum
Jadi, hukum asuransi adalah karena tidak ada dalil yang mengharamkannya, dan dengan tetap menimbang pendapat-pendapat tentang asuransi yang ada. Maka asuransi hukumnya boleh jika:
  • Tidak ada paksaan
  • Tidak menimbulkan kerugian
  • Tidak mengandung ketidakjelasan
  • Tidak mengandung riba

1 Zainuddin Ali, Asuransi Syari’ah (Jakarta: Sinar Grafika, 2008) hlm 2.

2 Muhaimin Iqbal, Asuransi Umum Syari’ah ( Depok: Gema Insani, 2002) hlm 4.

3 Sahrani, Sohari dan Abdullah, Ruf’ah, Fikih Muamalah (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011) hlm177

4 Hensi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: Raja Grafindo Persada:2002) hlm 310-312.

5 Zainuddin. Op.Cit. hlm 89.

6 Kuat ismanto. Op.Cir hlm 199.