Pages

16 Maart 2015

Definisi Nafkah dan Tata Caranya



A.      Nafkah
1.      Pengertian Nafkah
Kata nafaqah yang berasal dari kata Infaq dalam bahasa Arab secara etimologi mengandung arti: naqasha waqila yang berarti berkurang. Juga berarti finnii wa dzahaba yang berarti hilang atau pergi. Bila seseorang dikatakan memberikan nafaqah membuat harta yang dimilikinya menjadi sedikit karena telah dilenyapkannya atau dipergikannya untuk kepentingan orang lain. Bila kata ini dihubungkan dengan perkawinan mengandung arti: “sesuatu yang dikeluarkannya dari hartanya untuk kepentingan istrinya sehingga menyebabkan hartanya menjadi berkurang”. Dengan demikian, nafaqah istri berarti pemberian yang wajib dilakukan oleh suami terhadap istrinya dalam masa perkawinan.
2.      Hukum Memberikan Nafkah
Hukum membayar  nafaqah untuk istri, baik dalam bentuk perbelanjaan, pakaian adalah wajib. Kewajiban itu bukan disebabkan oleh karena istri membutuhkannya bagi kehidupan rumah tangga, tetapi kewajiban yang timbul dengan sendirinya tanpa melihat kepada keadaan istri.Dasar kewajibannya terdapat dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi.[1]
2_233.GIFDiantara ayat Al-Qur’an yang menyatakan kewajiban perbelanjaan terdapat dalam suratAl-Baqarah ayat 233:








233. Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
3.      Macam-macam nafkah
Nafkah itu ada dua macam:
a.       Nafkah Untuk Diri Sendiri
Agama islam menyarankan agar nafkah untuk diri sendiri didahulukan daripada nafkah untuk orang lain.
b.      Nafkah Untuk Orang Lain karena Hubungan Perkawinan dan Hubungan Kekerabatan
Setelah akad nikah, maka suami wajib memberi nafkah kepada istrinya paling kurang kebutuhan pokok sehari-hari.Tempat tinggal dan pakaian juga termasuk kebutuhan pokok.[2]
65_7.GIFMengenai kewajiban ini dijelaskan dalam Al-Qur’an:



Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (At-Thalaq: 7)
B.       Permasalahan Nafkah
Beberapa Permasalahan Mengenai Nafkah. Ulama fiqh mengemukakan pendapat mengenai nafkah istri diantaranya:
1.                  Suami enggan memberi nafkah atau suami memang tidak mampu
Apabila suami enggan memberi nafkah, sedangkan dia telah menetapkan (menjanjikan) dalam jumlah tertentu, atau hakim telah menetapkan nafkah wajib bagi istrinya, maka menurut ulama fiqh, sekiranya suaminya itu mampu  atau memiliki harta maka hakim berhak menjual hartanya itu dengan cara paksa dan kemudian diberikan kepada istrinya sesuai dengan kebutuhan.
Dalam satu riwayat dijelaskan bahwa Rasulullah pernah bersabda: “orang yang dengan sengaja tidak mau membayar hutangnya adalah termasuk orang yang zhalim.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Nafkah adalah merupakan hutang atas suami bagi istrinya. Berbeda, sekiranya suami tidak mampu tentu ada pertimbangan lain. Menurut Jumhur Ulama, hutang itu tidak gugur, walaupun suaminya tidak mampu. Sesudah mampu harus dibayarkan.Berbeda tentu, sekiranya istrinya memaafkan (menggugurkan haknya).
2.             Nafkah wanita dalam masa iddah dan hamil
Ulama fiqh sependapat, bahwa istri yang dicerai suami dengan talak raj’i (talak satu atau dua) selama masa iddah berhak mendapat nafkah dari suaminya.Hal inilah yang biasanya kurang mendapat perhatian dari suami yang menceraikan istrinya, padahal menyangkut dengan tanggung jawab (kewajiban).Akan tetapi apabila iddahnya, karena suaminya wafat, maka istri tidak mendapat nafkah.Namun, mazhab Maliki memberi pengecualian dalam masalah tempat tinggal.
Menurut mazhab Hanafi, walaupun istri telah ditalak dengan talak ba’in (talak tiga), istri tetap mendapat rumah, makanan dan pakaian selama masa iddah.Berbeda dengan mazhab Hambali, mantan suami tidak berkewajiban lagi memberi nafkah dalam masa iddah itu.[3]
3.             Nafkah Anak
Telah sepakat ulama,bahwa ayah berkewajiban memberikan nafkah untuk anak-anaknya, berdasarkan firman Allah SWT yang telah disebutkan diatas dalam surah Al-Baqarah: 233.
Ulama fiqh juga sepakat menyatakan bahwa anak-anak berhak menerima nafkah dari ayahnya dengan ketentuan:
a.                 Apabila ayah tidak mampu memberikan nafkah untuk mereka, atau paling tidak mampu bekerja untuk mencari rezeki. Apabila tidak punya harta atau tidak mampu bekerja seperti lumpuh dan sebab-sebab lainnya tidak wajib ayah memberi nafkah kepada anak-anaknya.
b.                Anak itu tidak memiliki harta sendiri atau belum mampu mencari nafkah sendiri, seperti lumpuh atau cacat fisiknya. Sekiranya anak itu sudah mampu mencari rezeki atau mempunyai kerja tetap, maka tidak wajib lagi menafkahi anak-anaknya.
c.                 Menurut mazhab Hambali, antara ayah dan anak tidak berbed agama. Berbeda dengan jumhur ulama, bahwa perbedaan agam tidak menghalangi pemberian nafkah kepada anak-anaknya. Mereka berpegang kepada surah Al-Baqarah: 233 yang tidak menyebutkan perbedaan agama.
Anak yang berhak mendapat nafkah dari ayahnya adalah:
a.                  Anak yang masih kecil, yang belum mampu mencari nafkah sendiri.
b.                  Anak wanita yang miskin sampai ia bersuami.
c.                  Anak yang masih mencari ilmu, walaupun ia sudah dewasa dan mampu mencari rezeki.
Sebab-sebab yang mewajibkan nafkah di antaranya sebagai berikut.
a.                  Sebab keturunan. Bapak atau ibu-kalau bapak tidak ada-wajib memberi nafkah kepada anaknya, begitu juga kepada cucu, kalau dia tidak mempunyai bapak.
b.                  Sebab pernikahan. Suami diwajibkan memberi nafkah kepada istrinya yang taat, baik makanan, pakaian, tempat tinggal, perkakas rumah tangga, dan lain-lain menurut keadaan ditempat masing-masing dan menurut kemampuan suami. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 228:
2_228.GIF
2_228.GIF


“dan para perempuan mempunyai hak (nafkah) yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf”
c.                  Sebab milik. Suami wajib memberi nafkah kepada istri dan anaknya, menjaga mereka, dan tidak memberikan beban yang terlalu berat kepada mereka.[4]
4.             Jumlah Nafkah Anak
Ulama fiqh sependapat bahwa nafkah anak yang wajib diberikan adalah sesuai dengan kebutuhan pokok anak itu dan sesuai pula dengan situasi dan kondisi ayah dan anak itu.[5]
5.             Nafkah Kedua Orang Tua
Jumhur Ulama berpendapat bahwa nafkah orang tua adalah menjadi kewajiban anak-anaknya.Orang  tua disini ialah kakek dan nenek dari kedua belah pihak ayah dan ibu.
Ulama fiqh menetapkan bahwa orang tua yang menerima nafkah dari anaknya dengan ketentuan:
a.                  Kedua orang tuanya dalam keadaan miskin dan tidak mampu untuk mencari nafkah karena sudah udzur atau sakit-sakitan. Firman Allah:
17_23.GIF

17_23.GIF

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu-bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduamya atau keduanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu...” (Al-Isra’: 23)
b.                  Anak mempunyai kemampuan untuk memberi nafkah kepada kedua orang tuanya. Menurut Jumhur Ulama, nafkah yang diberikan kepada kedua orang tuanya adalah kelebihan dari kebutuhan anak itu beserta anak istrinya.
c.                  Mazhab Hambali mengisyaratkan, bahwa kewajiban memberi nafkah kepada orang tua, adalah salah seorang ahli waris, dengan ketentuan antara anak dan orang tuanya tidak berbeda agama. Namun jumhur Ulama berpendapat, bahwa perbedaan agama tidak menghalangi kewajiban anak untuk memberi nafkah kepada orang tuanya.[6]



[1] Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antar Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan. ( Jakarta: Kencana, 2007) hlm. 166.
[2]Op.Cit.,hlm. 213-214.
[3]Ibid., hlm. 222-223.
[4]Beni Ahmad Saebani. Fiqh......hlm. 21-22.
[5]Op.Cit., hlm. 223-226.
[6]Ibid., hlm. 226-229.

0 opmerkings:

Plaas 'n opmerking