Konsep
Kafa’ah
dalam Islam
- Kafa’ah
Kafa’ah
artinya sepadan atau setingkat. Disebut pula dengan istilah kufu’.
Yang dimaksud dengan sepadan adalah keadaan dua pasangan suami-isteri
yang memiliki kesamaan dalam beberapa hal yaitu:
- Keduanya beragama islam
- Memiliki rupa yang tampan dan cantik
- Keduanya dari turunan yang baik
- Keduanya orang kaya
- Keduanya berpendidikan dan sebagainya
Dalam
ajaran islam, kesepadanan yang harus dikejar oleh kedua calon
suami-isteri adalah kesepadanan dalam agama. Karena agama merupakan
penentu stabilitas rumah tangga. Dari kesepadanan itulah maka orang
islam diharamkan menikah dengan orang musyrik dan ahli kitab yang
juga telah musyrik.1
Pandangan
mazhab-mazhab tentang kafa’ah
- Kafa’ah menurut mazhab Hanafi
Kafa’ah adalah
kesepadanan si lelaki bagi si wanita dalam hal-hal khusus, yang
jumlahnya enam, yaitu nasab, islam, pekerjaan, kemerdekaan, keagamaan
dan harta.
Nasab terletak pada
bangsa atau sukunya, karena manusia terbagi menjadi dua, yaitu Ajam
dan Arab. Arab terdiri atas dua golongan yaitu Quraisy dan
Non-Quraisy.
Orang Quraisy kufu
diantara sesamanya. Meskipun si lelaki muslim dan ayahnya bukan
muslim sedang perempuan muslimah dan ayahnya juga muslim. Tidak ada
masalah dalam hal kemerdekaan karena orang arab tidak boleh
diperbudak.
Adapun bagi orang
ajam berlaku nasabnya dalam keislaman dan kemerdekaan, hanya terbatas
dalam kedua hal itu. Karena itu, lelaki yang muslim ayahnya non
muslim tidaklah kufu dengan perempuan yang muslimah dan ayahnya
muslim. Beitu juga, dengan lelaki yang merdeka tetapi ayahnya budak,
tidaklah kufu bagi perempuan yang merdeka juga ayahnya merdeka.
Lelaki ajam yang
berilmu adalah kufu bagi perempuan arab yang bodoh. Kafa’ah dalam
pekerjaan hendaklah pekerjaan laki-laki sepadan dengan pekerjaan
keluarga si istri berdasarkan urf dan adat. Kafa’ah dalam keagamaan
berlaku bagi kalangan ajam dan arab. Lelaki fasik tidak kufu bagi
perempuan sholeh anak dari lelaki sholeh. Tetapi apabila ayah dari
perempuan itu fasik, maka tidak ada hhak untuk menolak pekawinan
dengan laki-laki yang fasik.
- Kafaa’ah menurut Syafi’i
Bahwa kafa’ah
harus ada. Tidak adanya kafa’ah (dalam perkawinan) adalah aib.
Patokannya adalah persamaan dan kesempurnaan. Pertimbaangan kafa’ah
ada 4 jenis :
Nasab
Manusia
terbagi menhjadi 2 golongan, arab dan ajam. Orang arab terdiri dari 2
golongan, Quraisy dan bukan quraisy. Orang Quraisy kufu dengn
sesamanya, tetapi Quraisy bni Hasyim hanya se-kufu antara sesama
mereka.
Agama
Lelaki
harus sama dengan si perempuan dalam kesucian dan istiqomah. Apabila
si lelaki fasik pezina, maka ia tidak kufu’ bagi perempuan yang
suci, walaupun si lelaki telah bertobat. Tetappi apabila si
lelakifasik selain fasik zina kemudian ia telah bertobat, maka ia
kufu’ bagi perempuan istiqomah.
Huriyah/
kemerdekaan
Lelaki
yang termasuk kalangan hamba sahaya mengandung cacat, maka mereka
tidak kufu’ bagi perempuan yang bukan budak. Ini berlaku dkalangan
ayah. Bukan ibu. Laki-laki yang lahir sebagai budak tidak kufu’
bagi perempuan yang ayahnya orang merdeka.
Khifah/
profesi
Lelaki
pemilik pekerjaan rendah, tidak kufu’ bagi perempuan yang ayahnya
memiliki pekerjaan yang terhormat. Dan lelaki dari kalangan pekerja
khadam atau pelayan tidak kufu’ bagi perempuan anak pedagang, dan
anak lelaki pedagang tidak kufu’ bagi perempuan orang berilmu atau
kadi, dlihat dari segi adat masyarakat.
- Kafa’ah menurut mazhab Hambali
Kafa’ah adalah
kesamaan dalam lima hal. Pertama keagamaan. Pendosa fasik tidaklah
kufu’ bagi perempuan yang saleh dan suci. Kedua, pekerjaan. Pemilik
pekerjaan hina atau rendah tidaklah kufu’ bagi pemilik pekerjaan
mulia. Ketiga, kelapangan dalam harta, termasuk apa yang diwajibkan
baginya dalam hal mahar dan nafkah. Keempat kemerdekaan. Tidaklah
lelaki budak tidak kufu’ bagi perempuan merdeka. Kelima nasab. Maka
lelaki ajam yang bukan Arab tidaklah kufu’ bagi perempuan Arab.
- Kafa’ah menurut Mazahab Maliki
Masalah
kafa’ah dalam pernikahan ada dua. Pertama, keagamaan, yakni muslim
bukan fasik. Kedua bebas dari aib-aib yang ditentukan si perempuan
bagi calon suaminya
Kafa’ah.
Dalam hal harta, kemerdekaan, nasab, dan pekerjaan, tidaklah muktabar
(diakui). Apabila seorang lelaki rendahan menikah dengan seorang
wanita mulia sebagaimana wanita muslim maka perkawinan itu sah.2
1
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat (Buku II), (Bandung: CV Pustaka
Setia, 2001), hlm. 200.
2
M. Hasyim Assegaf, Derita Putra Putri Nabi studi kasus kafa’ah
syarifah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 45-54.
0 opmerkings:
Plaas 'n opmerking