Pages

11 April 2015

Konsep Kafa’ah dalam Islam

Konsep Kafaah dalam Islam
  1. Kafa’ah
Kafa’ah artinya sepadan atau setingkat. Disebut pula dengan istilah kufu’. Yang dimaksud dengan sepadan adalah keadaan dua pasangan suami-isteri yang memiliki kesamaan dalam beberapa hal yaitu:
  1. Keduanya beragama islam
  2. Memiliki rupa yang tampan dan cantik
  3. Keduanya dari turunan yang baik
  4. Keduanya orang kaya
  5. Keduanya berpendidikan dan sebagainya
Dalam ajaran islam, kesepadanan yang harus dikejar oleh kedua calon suami-isteri adalah kesepadanan dalam agama. Karena agama merupakan penentu stabilitas rumah tangga. Dari kesepadanan itulah maka orang islam diharamkan menikah dengan orang musyrik dan ahli kitab yang juga telah musyrik.1
Pandangan mazhab-mazhab tentang kafa’ah
  1. Kafa’ah menurut mazhab Hanafi
Kafa’ah adalah kesepadanan si lelaki bagi si wanita dalam hal-hal khusus, yang jumlahnya enam, yaitu nasab, islam, pekerjaan, kemerdekaan, keagamaan dan harta.
Nasab terletak pada bangsa atau sukunya, karena manusia terbagi menjadi dua, yaitu Ajam dan Arab. Arab terdiri atas dua golongan yaitu Quraisy dan Non-Quraisy.
Orang Quraisy kufu diantara sesamanya. Meskipun si lelaki muslim dan ayahnya bukan muslim sedang perempuan muslimah dan ayahnya juga muslim. Tidak ada masalah dalam hal kemerdekaan karena orang arab tidak boleh diperbudak.
Adapun bagi orang ajam berlaku nasabnya dalam keislaman dan kemerdekaan, hanya terbatas dalam kedua hal itu. Karena itu, lelaki yang muslim ayahnya non muslim tidaklah kufu dengan perempuan yang muslimah dan ayahnya muslim. Beitu juga, dengan lelaki yang merdeka tetapi ayahnya budak, tidaklah kufu bagi perempuan yang merdeka juga ayahnya merdeka.
Lelaki ajam yang berilmu adalah kufu bagi perempuan arab yang bodoh. Kafa’ah dalam pekerjaan hendaklah pekerjaan laki-laki sepadan dengan pekerjaan keluarga si istri berdasarkan urf dan adat. Kafa’ah dalam keagamaan berlaku bagi kalangan ajam dan arab. Lelaki fasik tidak kufu bagi perempuan sholeh anak dari lelaki sholeh. Tetapi apabila ayah dari perempuan itu fasik, maka tidak ada hhak untuk menolak pekawinan dengan laki-laki yang fasik.
  1. Kafaa’ah menurut Syafi’i
Bahwa kafa’ah harus ada. Tidak adanya kafa’ah (dalam perkawinan) adalah aib. Patokannya adalah persamaan dan kesempurnaan. Pertimbaangan kafa’ah ada 4 jenis :
Nasab
Manusia terbagi menhjadi 2 golongan, arab dan ajam. Orang arab terdiri dari 2 golongan, Quraisy dan bukan quraisy. Orang Quraisy kufu dengn sesamanya, tetapi Quraisy bni Hasyim hanya se-kufu antara sesama mereka.
Agama
Lelaki harus sama dengan si perempuan dalam kesucian dan istiqomah. Apabila si lelaki fasik pezina, maka ia tidak kufu’ bagi perempuan yang suci, walaupun si lelaki telah bertobat. Tetappi apabila si lelakifasik selain fasik zina kemudian ia telah bertobat, maka ia kufu’ bagi perempuan istiqomah.
Huriyah/ kemerdekaan
Lelaki yang termasuk kalangan hamba sahaya mengandung cacat, maka mereka tidak kufu’ bagi perempuan yang bukan budak. Ini berlaku dkalangan ayah. Bukan ibu. Laki-laki yang lahir sebagai budak tidak kufu’ bagi perempuan yang ayahnya orang merdeka.
Khifah/ profesi
Lelaki pemilik pekerjaan rendah, tidak kufu’ bagi perempuan yang ayahnya memiliki pekerjaan yang terhormat. Dan lelaki dari kalangan pekerja khadam atau pelayan tidak kufu’ bagi perempuan anak pedagang, dan anak lelaki pedagang tidak kufu’ bagi perempuan orang berilmu atau kadi, dlihat dari segi adat masyarakat.
  1. Kafa’ah menurut mazhab Hambali
Kafa’ah adalah kesamaan dalam lima hal. Pertama keagamaan. Pendosa fasik tidaklah kufu’ bagi perempuan yang saleh dan suci. Kedua, pekerjaan. Pemilik pekerjaan hina atau rendah tidaklah kufu’ bagi pemilik pekerjaan mulia. Ketiga, kelapangan dalam harta, termasuk apa yang diwajibkan baginya dalam hal mahar dan nafkah. Keempat kemerdekaan. Tidaklah lelaki budak tidak kufu’ bagi perempuan merdeka. Kelima nasab. Maka lelaki ajam yang bukan Arab tidaklah kufu’ bagi perempuan Arab.
  1. Kafa’ah menurut Mazahab Maliki
Masalah kafa’ah dalam pernikahan ada dua. Pertama, keagamaan, yakni muslim bukan fasik. Kedua bebas dari aib-aib yang ditentukan si perempuan bagi calon suaminya
Kafa’ah. Dalam hal harta, kemerdekaan, nasab, dan pekerjaan, tidaklah muktabar (diakui). Apabila seorang lelaki rendahan menikah dengan seorang wanita mulia sebagaimana wanita muslim maka perkawinan itu sah.2

1 Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat (Buku II), (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), hlm. 200.

2 M. Hasyim Assegaf, Derita Putra Putri Nabi studi kasus kafa’ah syarifah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 45-54.

0 opmerkings:

Plaas 'n opmerking