Pages

23 Maart 2015

Iddah dan Ruju' Dalam Perspektif Islam



A.    Iddah
1.      Pengertian iddah
Iddah berarti “ketentuan”. Maksudnya ialah waktu menunggu bagi bekas istri yang telah dicerai oleh suaminya, yang pada waktu bekas istri tidak boleh kawin dengan laki-laki lain.
Hukum menunggu bagi bekas istri yang telah dicerai oleh suaminya atau suaminya meninggal dunia itu adalah wajib dan lama waktunya ditetapkan oleh agama sesuai dengan keadaan bekas suami yang mencerai atau istri yang dicerai.
2.      Ketentuan-ketentuan iddah
a.    Bagi perempuan yang hamil, Iddahnya adalah sampai melahirkan anak yang dikandungnya itu, baik cerai mati maupun cerai hidup.
b.    Perempuan yang tidak hamil. Cerai mati iddahnya empat bulan sepuluh hari. Cerai hidup, kalau dalam keadaan Haid, iddahnya adalah tiga kali suci. Jika tidak sedang Haid, Iddahnya adalah tiga bulan. [1]

B.     Ruju’
1.      Pengertian
Ruju’ atau dalam istilah hukum disebut raja’ah secara arti kata berarti “kembali”. Orang yang ruju’ kepada istrinya berarti kembali kepada istrinya. Sedangkan definisinya dalam pengertian fiqh menurut Al-Mahali adalah:
“Kembali kedalam hubungan perkawinan dari cerai yang bukan bain, selama dalam masa iddah.”
Ruju’ yang berasal dari bahasa Arab telah menjadi bahasa Indonesia terpakai yang artinya menurut KBBI adalah: “Kembalinya suami kepada istrinya yang ditalak, yaitu talak satu atau talak dua, ketika istri masih dimasa iddah.”[2]
Dilihat dari satu sisi yaitu rujuk itu menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan sebagaimana juga pada perkawinan, namun antara keduanya terdapat perbedaan yang prinsip dalam rukun yang dituntut untuk sahnya kedua bentuk lembaga tersebut.
Pada ruju’ menurut yang disepakati oleh ulama, ruju’ tidak memerlukan wali untuk mengakadkannya, tidak perlu dihadiri oleh dua orang saksi dan tidak perlu juga mahar. Dengan demikian pelaksanaan ruju’ lebih sederhana dibandingkan dengan perkawinan.[3]
2.      Tata Cara Ruju’
Instruksi Presiden R.I Nomor 1 Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Bab VXII Rujuk bagian kedua tentang tata cara rujuk pasal 167, berbunyi:
1)      Suami yang hendak meruku’ istrinya datang bersama-sama istrinya ke Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami istri dengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain yang diperlukan.
2)      Ruju’ dilakukan dengan persetujuan istri dihadapan Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah.
3)      Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah memeriksa dan menyelidiki apakah suami yang akan meruju’ itu memenuhi syarat-syarat meruju’ menurut hukum munakahat, apakah ruju’ yang akan dilakukan itu masih dalam iddah talak raj’I, apakah perempuan yang akan diruju’ itu adalah istrinya.
4)      Setelah itu suami mengucapkan ruju’nya dan masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani hukum pendaftaran ruju’.
5)      Setelah ruju’ itu dilaksanakan, pegawai pencatat nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah menasehati suami istri tentang hukum-hukun dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan ruju’.[4]



[1] Beni Ahmad Saibani, Fiqh Munakahat 2 (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hlm 135
[2] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2007), hal. 337.
[3] Amir Syarifuddin, Op. Cit, hal.338-339.
[4] Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama R.I, 2000), hal. 75-76.

Zhihar dan sejenisnya



A.    Zhihar
1.      Pengertian
Zhihar secara bahasa artinya “punggung”, maksudnya ketika suami berkata kepada istri “Engkau dengan Aku seperti punggung ibuku”. Zhihar ini hanya boleh dilakukan oleh suami yang berakal sehat, muslim, perkawinannya sah menurut hukum.
Dalam kitab Fathul Bari disebut punggung karena pada umumnya punggunglah tempat tunggangan. Sehingga perempuan diumpamakan oleh kaum lelaki sebagai tunggangan. Zhihar ini, meskipun dalam hati suami ada keinginan untuk mentalak maka hukumnya bukan sebagai talak, dan zhihar ini tidak menyebabkan istri tertalak dari suaminya.
Hukum asal dari Zhihar adalah makruh, dan haram apabila tujuannya untuk menggantung nasib istri dan membiarkannya hidup terkatung-katung.
2.      Akibat Zhihar
Suami yang mengzhihar istrinya dengan sah bisa menimbulkan dua macam akibat:
Pertama, haram menyetubuhi sebelum ia membayar kafarat. Karena haram bersetubuh, maka haram pula mencium, mengecup, mengecup leher, dan sebagainya menurut pendapat mayoritas ulama.
Kafaratnya itu memerdekakan seorang budak perempuan. Jika tidak mampu, maka puasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu maka harus memberi makan 60 orang miskin. Kafarat ini sangat berat karena ingin menjaga kelanggengan hubungan suami istri agar suami mau menjaga hubungannya dengan baik dan tidak mau berbuat dzalim.
Kedua, wajib bayar kafarat dan berhak kembali lagi.  Kembali lagi disini maksudnya adalah kembali kehendak untuk bersetubuh yang semula hukumnya haram karena Zhihar tadi. Sebab, dengan adanya kehendak, berarti sudah kembali dari tekad berbuat Zhihar menjadi tekad untuk tidak berbuat Zhihar lagi. [1]

B.     Ila’
1.      Pengertian ila’
Ila’ menurut bahasa berarti “bersumpah tidak akan mengerjakan sesuatu pekerjaan”. Di kalangan orang Arab Jahiliyah perkataan ila’ mengandung arti “sumpah suami bahwa ia tidak akan mengadakan hubungan sebagai suami istri dengan istrinya. Apabila seorang suami pada masa itu telah meng-ila’ istrinya berarti istrinya itu telah dicerainya selama-lamanya dan tidak boleh dikawini oleh laki-laki lain.
اَّلذِ يْنَ يُؤْلُؤْ نَ مِنْ نِسَا ئِهِمْ تَرَ بُّصُ اَرْ بَعَةَ اَشْهُرٍ. فَإِ نْ فَاءُوْا  فَإِ نَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ. وَ إِنْ عَزَمُوا االطَّلَا قَ فَإِ نَّ اللهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ.
Kepada orang-orang yang meng-ila’ istrinya diberi tangguh empat bulan lamanya. Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, jika mereka ber’azam (bertetap hai untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Q.S Al-Baqarah: 226, 227)
2.      Syarat-syarat ila’
a.       Syarat-syarat yang berhubungan dengan suami istri, suami yang          diperbolehkan meng-ila’ ialah suami yang baligh, berakal dan tidak gila.
b.      Ila’ hendaklah berupa sumpah
·         Sumpah ila’ harus disertai denagn nama Allah atau salah satu sifat-Nya
·         Pelanggaran ila’ oleh suami haruslah denagn membayar kafarat yang jumlanya sama dengan jumlah kafarat sumpah
c.       Isi ila’ itu hendaklah bahwa suami tidak akan mencampuri istrinya. Sumpah suami yang tidak mengandung pengertian tersebut tidak dihukum sebagai ila’
d.      Waktu menunggu, yaitu waktu yang ditentukan oleh suami di dalam ila’nya yang dalam waktu tersebut ia tidak akan mencampuri istrinya.[2]
                        
C.    Li’an
Li’an adalah saling menyatakan bersedia dilaknat Allah setelah bersaksi sebanyak empat kali dan dikuatkan dengan sumpahnya sendiri.
Contohnya adalah ketika ada seorang suami yang menuduh istrinya berzina dengan persaksian sebanyak empat kali, yang menyatakan bahwa tuduhannya benar. Dan ucapan kelima adalah menunjukkan bahwa dirinya akan dilaknat Allah jika tuduhannya itu dusta.
Lalu proses selanjutnya, istrinya yang menerima tuduhan itu menyanggah tuduhan suaminya dengan bersaksi sebanyak empat kali bahwa suaminya berdusta. Dan sumpah kelimanya juga akan dilaknat Allah jika ternyata ucapan suaminya itu benar, atau suami tidak mengakui kehamilan istrinya sebagai hasil dari benihnya.
Maka dari itu, ketika terjadi hal demikian maka suami istri itu harus melakukan sumpah atas tuduhan dan sanggahan tuduhannya. Selain itu, sepasang suami istri juga tidak dihalalkan untuk berhubungan badan.[3]
  Deskrips perkataan Li’an adalah “Saya persaksikan kepada Allah, bahwa saya benar terhadap tuduhan saya kepada istri saya bahwa dia berzina”. Ucapan itu diulangi empat kali, kemudian di tambah lagi dengan kalimat sumpahnya  Laknat Allah akan menimpaku jika aku dusta.
Jika tuduhannya benar, maka akibat Li’an bagi suami adalah :
-          Suami tidak disiksa
-          Istri wajib disiksa, dengan 80 kali siksaan
-          Suami istri bercerai selama-lamanya.



[1] Ibid, hal 130-131.
[2] Kamal Muchtar, ibid. hal 190-198
[3] Sayyid sabiq, Fiqih Sunah 5-8 (Bandung, PT Al Ma’arif, 1978), hal. 134