Wanita
Berpolitik Dalam Pandangan Islam
Pertanyaan
klasik tentang boleh tidaknya seorang wanita menjadi kepala negara
(pemegang jabatan), kembali mencuat. Salah satu topik pembicaraan
hangat di kalangan Islam adalah keterlibatan perempuan dalam politik,
yakni yang berkaitan dengan urusan negara dan masyarakat.
Pandangan
Islam tentang wanita sangat jelas, Islam meletakkan wanita itu
sejajar dengan pria, sesuai dengan kodratnya masing-masing. Baik pria
maupun wanita memiliki hak dan kewajiban yang sama secara universal
Pada
prinsipnya tidak ada perbedaan antara lapangan kerja wanita dan pria,
karena kerja merupakan salah satu kebutuhna pokok manusia, kemajuan
suatu bangsa diukur dari tingkat produktivitas kerjanya di segala
lapangan kehidupan.
Wanita
dan Politik
Pandangan Islam tentang wanita sangat
jelas, Islam meletakkan wanita itu sejajar dengan pria, sesuai dengan
kodratnya masing-masing. Baik pria maupun wanita memiliki hak dan
kewajiban yang sama secara universal.
Politk diartikan antara lain sebagai
urusan dan tindakan atau kebijakan mengenai pemerintahan negara atau
negara lain. Politik juga berarti kebijakan dan cara bertindak dalam
menghadapi dan menangani satu masalah, malah yang berkaitan dengan
masyarakat maupun selainnya.
Salah satu pembicaraan hangat di
kalangan sakian banyak anggota masyarakat Islam adalah keterlibatan
perempuan dalam politik, yakni yang berkaitan dengan urusan negara
dan masyarakat.
Banyak dalih yang dikemukakan oleh
para penentang hak perempuan, baik dengan penafsiran ayat al-Qur’an
dan hadits Nabi saw. Maupun dengan menunjuk beberapa hal yang
berkaitan dengan perempuan yang mereka nilai sebagai kelemahan yang
menghalangi mereka menyandang hak tersebut.
Mereka, misalnya, merunjuk kepada
ayat:
الرِّجَا
لُ قَوَّمُو نَ عَلىَ النِّسَاءِ
“Lelaki adalah pemimpin-pemimpin
perempuan” (QS.
An-Nisa [4]: 34).
Mereka memahaminya bersifat umum,
padahal memahami penggalan ayat di atas dalalm arti khusus-yakni
kehidupan rumah tangga-justru lebih sesuai dengan konteks uraian
ayat, apalagi lanjutan ayat tersebut menegaskan sebab kepemimpinan
itu, yakni antara lain karena lelaki berkewajiban menanggung biaya
hidup istri/keluarga mereka masing-masing.
Alhasil, tidak ditemukan dasar yang
kuat bagi larangan tersebut. Justru sebaliknya ditemukan sekian
banyak dalil keagamaan yang dapat dijadikan dasar untuk mendukung
hak-hak perempuan dalam bidang politik. Salah satu ayat yang dapat
dikemukakan dalam kaitan ini adalah QS. At-Taubah ayat 71:
وَالمُؤ
مِنُو نَ وَ المُؤ مِنَتً بَعْضُهُم
أولِياَ ء بَعضٍ,
يَا
مُرٌونَ بِا لمعرٌوفِ ويَنهَونَ عَنِ
المثكَرِ وَ يُقِيمُون الصلو ةَ ويؤ تو
ن الز كو ة ويطيعو ن الله ورسو له,
اولئك
سير حمهم الله,
انّ
الله عزيز حكيم
“Orang-orang yang beriman,
lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah aulia bagi sebagian yang
lain. Mereka menyuruh yang ma’ruf, mencegah yang mungkar,
melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah
dan Rasulnya. Mereka itu akan dirahmati Allah sesungguhnya Allah Maha
Perkasa dan Maha Bijaksana”
Pengertian kata aulia disini
mencangkup kerja sama, bantuan, dan penguasaan, sedangkan pengertian
menyuruh yang ma’ruf mencangkup segala segi kebaikan atau perbaikan
kehidupan, termasuk member nasihat atau kritik kepada penguasa.
Dengan demikian, setiap lelaki dan perempuan hendaknya mengikuti
perkembangan masyarakatnya agar masing-masing mampu melihat dan
member saran atau nasihat dan kritik dalam berbagai bidang kehidupan,
termasuk kehidupan politik.
Al-Qur’an menguraikan permintaan
para perempuan pada zaman Nabi Muhammad saw dan ajaran Islam.
Permintaan ini terlaksana sebagai mana disebutkan dalam QS.
Al-Mumtahanah
ayat 12.
Diterimanya baiat para perempuan
dapat menjadi bukti tentang hak mereka untuk menentukan pilihan atau
pandangannya yang berkaitan dengan kehidupan serta kebebasan mereka
untuk berbeda dengan kelompok yang lain dalam masyarakat, bahkan
berbeda dengan pandangan suami atau ayah mereka sendiri. Kenyataan
sejarah juga menunjukkan segian banyak perempuan yang terlibat dalam
soal-soal politik praktis.
Peranan
Wanita dalam Politik
Menurut Brunetta, peran ialah bagian
yang dimainkan pada setiap keadaan, dan cara bertingkah laku untuk
menyelaraskan diri dengan keadaan.
Di tengah perkembangan peradaban
manusia muncul fenomena kebebasan wanita serta kiprahnya dalam
kehidupan sosial dan politik. Sebenarnya, fenomena seperti ini sudah
ada pada zaman Rasulullah. Sekarang ini di Indonesia telah terjadi
tuntunan untuk emansipasi wanita termasuk dalam kepemimpinan di dalam
bidang politik dan kenegaraan.
Ketika berbicara tentang peran
politik wanita dalam Islam berarti berbicara tentang peran wanita
sebagai bagian bari masyarakat. Islam memandang bahwa wanita sebagai
bagian dari masyarakat memiliki kewajiban yang sama dengan laki-laki
untuk mewujudkan kesadaran politik pada diri wanita sendiri maupun
masyarakat secara umum.
Dalam Islam tidak menjadi masalah
apakah posisi seseorang sebagai penguasa ataupun rakyat biasa.
Keduanya
bertanggung jawab dalam mengurusi umat, yaitu penguasa sebagai pihak
yang menerapkan aturan untuk mengurusi umat secara langsung dan umat
akan mengawasi pelaksanaan pengaturannya. Keduannya berkewajiban
memajukan umat dan memiliki tanggung jawab yang sama untuk
menyelesaikan problematika umat baik problem laki-laki maupun wanita,
karena problem ini dipandang sebgai problem yang satu yaitu problem
manusia.
Ketika kaum muslimin (laki-laki dan
perempuan) berrpaya memfungsikan segenap potensinya untuk mengurusi
dan menyelesaikan problematika umat, berarti telah melakukan peran
politik. Oleh karena itu, wanita dapat melakukan peran politik
meskipun tidak menjadi penguasa (penentu kebijakan).
Seruan Allah dalam hal aktivitas
perempuan di dunia politik secara umum mempunyai implikasi pada hukum
yang berkaitan dengan wanita dalam kedudukannya sebagai individu
manusia, islam menetapkan hokum yang sama antara pria dan wanita
dalam masalah kewajiban berdakwah (amar
ma’ruf nahi munkar),
kewajiban menuntut ilmu serta kewajiban menunaikan ibadah-ibadah
ritual (mahdhah).
Hukum
Politik Wanita
Keterlibatan dalam politik adalah
wajib bagi kaum muslimin, baik laki-laki maupun perempuan. Rasulullah
saw bersabda, “siapa
saja bangun di pagi hari dan perhatiannya kepada selain Allah, maka
ia tidak berurusan dengan Allah. Dan barangsiapa yang bangun pagi dan
tidak memperhatikan urusan kaum muslimin, maka ia tidak termasuk
golongan mereka (kaum muslimin).” (HR
Hakim dan Al Khatib dari Hudzaifah r.a.)
“jihad yang paling utama adalah
menyatakan kebenaran kepada
penguasa yang dzalim.” (HR
Abu Dawud)
“penghulu syuhada adalah Hamzah
bin Abdul Mutholib dan (setara dengannya) seorang yang berdiri ke
depan penguasa yang dzalim menyerukan kepadanya untuk berbuat baik
(melarangnya berbuat mungkan) kemudian ia dibunuh”
Allah swt berfirman:
ولتكم
منكم أمّة يدعون إلى الخير ويأ مرون با
لمعروف وينهون عن المنكر.
وأولئك
هم المفلحون
“Dan hendaklah ada diantara
kalian umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf
dan mencegah dari yang mungkar merekalah orang-orang yang beruntung.”
(Ali Imran: 104)
Hadis-hadis dan ayat Al-Qur’an
tersebut menunjukkan bahwa keterlibatan dalam politik merupakan
kewajiban bagi kaum muslimin. Hal ini ditunjukkan oleh adanya celaan
bagi yang tidak memperhatikan urusan umat dalam hadis pertama. Kata
man, rijal, dan
kum
“(adalah umum yang berarti seruan) dalam hadis dan Al-Qur’an
tersebut ditujukan secara umum kepada kaum muslimin baik laki-laki
maupun perempuan. Oleh karena itu, siapa saja, termasuk muslimah
harus memiliki kepedulian terhadap masalah politik yaitu pengaturan
urusan umat.
Pendapat yang membolehkan wanita
menjadi pemimpin negara juga dari Ahmadiyah, Naib Amir Ahmadiyah
Indonesia, H. Suyuti Azis, memandang tidak ada perbedaan antara
wanita dan pria, karena dalam pandangan Allah terletak pada ketakwaan
seseorang. Tidak masalah jika perempuan menjadi pemimpin negara.