A.
Iddah
1.
Pengertian
iddah
Iddah berarti “ketentuan”. Maksudnya ialah waktu menunggu bagi
bekas istri yang telah dicerai oleh suaminya, yang pada waktu bekas istri tidak
boleh kawin dengan laki-laki lain.
Hukum menunggu bagi bekas istri yang telah dicerai oleh suaminya
atau suaminya meninggal dunia itu adalah wajib dan lama waktunya ditetapkan
oleh agama sesuai dengan keadaan bekas suami yang mencerai atau istri yang
dicerai.
2.
Ketentuan-ketentuan
iddah
a.
Bagi
perempuan yang hamil, Iddahnya adalah sampai melahirkan anak yang dikandungnya
itu, baik cerai mati maupun cerai hidup.
b.
Perempuan
yang tidak hamil. Cerai mati iddahnya empat bulan sepuluh hari. Cerai hidup,
kalau dalam keadaan Haid, iddahnya adalah tiga kali suci. Jika tidak sedang
Haid, Iddahnya adalah tiga bulan. [1]
B.
Ruju’
1.
Pengertian
Ruju’ atau dalam istilah hukum disebut raja’ah secara arti
kata berarti “kembali”. Orang yang ruju’ kepada istrinya berarti kembali kepada
istrinya. Sedangkan definisinya dalam pengertian fiqh menurut Al-Mahali adalah:
“Kembali kedalam hubungan perkawinan dari cerai yang bukan bain,
selama dalam masa iddah.”
Ruju’ yang berasal dari bahasa Arab telah menjadi bahasa Indonesia
terpakai yang artinya menurut KBBI adalah: “Kembalinya suami kepada istrinya
yang ditalak, yaitu talak satu atau talak dua, ketika istri masih dimasa
iddah.”[2]
Dilihat dari satu sisi yaitu rujuk itu menghalalkan hubungan
kelamin antara laki-laki dengan perempuan sebagaimana juga pada perkawinan,
namun antara keduanya terdapat perbedaan yang prinsip dalam rukun yang dituntut
untuk sahnya kedua bentuk lembaga tersebut.
Pada ruju’ menurut yang disepakati oleh ulama, ruju’ tidak
memerlukan wali untuk mengakadkannya, tidak perlu dihadiri oleh dua orang saksi
dan tidak perlu juga mahar. Dengan demikian pelaksanaan ruju’ lebih sederhana
dibandingkan dengan perkawinan.[3]
2.
Tata
Cara Ruju’
Instruksi Presiden R.I Nomor 1 Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia Bab VXII Rujuk bagian kedua tentang tata cara rujuk pasal 167,
berbunyi:
1) Suami yang hendak meruku’ istrinya datang bersama-sama istrinya ke Pegawai
Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat
tinggal suami istri dengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat
keterangan lain yang diperlukan.
2)
Ruju’
dilakukan dengan persetujuan istri dihadapan Pegawai Pencatat Nikah atau
Pembantu Pegawai Pencatat Nikah.
3)
Pegawai
Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah memeriksa dan menyelidiki
apakah suami yang akan meruju’ itu memenuhi syarat-syarat meruju’ menurut hukum
munakahat, apakah ruju’ yang akan dilakukan itu masih dalam iddah talak raj’I,
apakah perempuan yang akan diruju’ itu adalah istrinya.
4) Setelah itu suami mengucapkan ruju’nya dan masing-masing yang
bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani hukum pendaftaran ruju’.
5) Setelah ruju’ itu dilaksanakan, pegawai pencatat nikah atau Pembantu
Pegawai Pencatat Nikah menasehati suami istri tentang hukum-hukun dan kewajiban
mereka yang berhubungan dengan ruju’.[4]
[1] Beni Ahmad
Saibani, Fiqh Munakahat 2 (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hlm 135
[2] Amir
Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2007), hal. 337.
[3] Amir Syarifuddin,
Op. Cit, hal.338-339.
[4] Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama R.I, 2000), hal.
75-76.
0 opmerkings:
Plaas 'n opmerking