Pages

11 April 2015

Wanita Berpolitik Dalam Pandangan Islam

Wanita Berpolitik Dalam Pandangan Islam
Pertanyaan klasik tentang boleh tidaknya seorang wanita menjadi kepala negara (pemegang jabatan), kembali mencuat. Salah satu topik pembicaraan hangat di kalangan Islam adalah keterlibatan perempuan dalam politik, yakni yang berkaitan dengan urusan negara dan masyarakat.
Pandangan Islam tentang wanita sangat jelas, Islam meletakkan wanita itu sejajar dengan pria, sesuai dengan kodratnya masing-masing. Baik pria maupun wanita memiliki hak dan kewajiban yang sama secara universal
Pada prinsipnya tidak ada perbedaan antara lapangan kerja wanita dan pria, karena kerja merupakan salah satu kebutuhna pokok manusia, kemajuan suatu bangsa diukur dari tingkat produktivitas kerjanya di segala lapangan kehidupan.
  1. Wanita dan Politik
Pandangan Islam tentang wanita sangat jelas, Islam meletakkan wanita itu sejajar dengan pria, sesuai dengan kodratnya masing-masing. Baik pria maupun wanita memiliki hak dan kewajiban yang sama secara universal.1
Politk diartikan antara lain sebagai urusan dan tindakan atau kebijakan mengenai pemerintahan negara atau negara lain. Politik juga berarti kebijakan dan cara bertindak dalam menghadapi dan menangani satu masalah, malah yang berkaitan dengan masyarakat maupun selainnya.
Salah satu pembicaraan hangat di kalangan sakian banyak anggota masyarakat Islam adalah keterlibatan perempuan dalam politik, yakni yang berkaitan dengan urusan negara dan masyarakat.
Banyak dalih yang dikemukakan oleh para penentang hak perempuan, baik dengan penafsiran ayat al-Qur’an dan hadits Nabi saw. Maupun dengan menunjuk beberapa hal yang berkaitan dengan perempuan yang mereka nilai sebagai kelemahan yang menghalangi mereka menyandang hak tersebut.
Mereka, misalnya, merunjuk kepada ayat:
الرِّجَا لُ قَوَّمُو نَ عَلىَ النِّسَاءِ
Lelaki adalah pemimpin-pemimpin perempuan” (QS. An-Nisa [4]: 34).
Mereka memahaminya bersifat umum, padahal memahami penggalan ayat di atas dalalm arti khusus-yakni kehidupan rumah tangga-justru lebih sesuai dengan konteks uraian ayat, apalagi lanjutan ayat tersebut menegaskan sebab kepemimpinan itu, yakni antara lain karena lelaki berkewajiban menanggung biaya hidup istri/keluarga mereka masing-masing.
Alhasil, tidak ditemukan dasar yang kuat bagi larangan tersebut. Justru sebaliknya ditemukan sekian banyak dalil keagamaan yang dapat dijadikan dasar untuk mendukung hak-hak perempuan dalam bidang politik. Salah satu ayat yang dapat dikemukakan dalam kaitan ini adalah QS. At-Taubah ayat 71:

وَالمُؤ مِنُو نَ وَ المُؤ مِنَتً بَعْضُهُم أولِياَ ء بَعضٍ, يَا مُرٌونَ بِا لمعرٌوفِ ويَنهَونَ عَنِ المثكَرِ وَ يُقِيمُون الصلو ةَ ويؤ تو ن الز كو ة ويطيعو ن الله ورسو له, اولئك سير حمهم الله, انّ الله عزيز حكيم
Orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah aulia bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh yang ma’ruf, mencegah yang mungkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasulnya. Mereka itu akan dirahmati Allah sesungguhnya Allah Maha Perkasa dan Maha Bijaksana”
Pengertian kata aulia disini mencangkup kerja sama, bantuan, dan penguasaan, sedangkan pengertian menyuruh yang ma’ruf mencangkup segala segi kebaikan atau perbaikan kehidupan, termasuk member nasihat atau kritik kepada penguasa. Dengan demikian, setiap lelaki dan perempuan hendaknya mengikuti perkembangan masyarakatnya agar masing-masing mampu melihat dan member saran atau nasihat dan kritik dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk kehidupan politik.
Al-Qur’an menguraikan permintaan para perempuan pada zaman Nabi Muhammad saw dan ajaran Islam. Permintaan ini terlaksana sebagai mana disebutkan dalam QS. Al-Mumtahanah ayat 12.
Diterimanya baiat para perempuan dapat menjadi bukti tentang hak mereka untuk menentukan pilihan atau pandangannya yang berkaitan dengan kehidupan serta kebebasan mereka untuk berbeda dengan kelompok yang lain dalam masyarakat, bahkan berbeda dengan pandangan suami atau ayah mereka sendiri. Kenyataan sejarah juga menunjukkan segian banyak perempuan yang terlibat dalam soal-soal politik praktis.2
  1. Peranan Wanita dalam Politik
Menurut Brunetta, peran ialah bagian yang dimainkan pada setiap keadaan, dan cara bertingkah laku untuk menyelaraskan diri dengan keadaan.3
Di tengah perkembangan peradaban manusia muncul fenomena kebebasan wanita serta kiprahnya dalam kehidupan sosial dan politik. Sebenarnya, fenomena seperti ini sudah ada pada zaman Rasulullah. Sekarang ini di Indonesia telah terjadi tuntunan untuk emansipasi wanita termasuk dalam kepemimpinan di dalam bidang politik dan kenegaraan.4
Ketika berbicara tentang peran politik wanita dalam Islam berarti berbicara tentang peran wanita sebagai bagian bari masyarakat. Islam memandang bahwa wanita sebagai bagian dari masyarakat memiliki kewajiban yang sama dengan laki-laki untuk mewujudkan kesadaran politik pada diri wanita sendiri maupun masyarakat secara umum.
Dalam Islam tidak menjadi masalah apakah posisi seseorang sebagai penguasa ataupun rakyat biasa. Keduanya bertanggung jawab dalam mengurusi umat, yaitu penguasa sebagai pihak yang menerapkan aturan untuk mengurusi umat secara langsung dan umat akan mengawasi pelaksanaan pengaturannya. Keduannya berkewajiban memajukan umat dan memiliki tanggung jawab yang sama untuk menyelesaikan problematika umat baik problem laki-laki maupun wanita, karena problem ini dipandang sebgai problem yang satu yaitu problem manusia.
Ketika kaum muslimin (laki-laki dan perempuan) berrpaya memfungsikan segenap potensinya untuk mengurusi dan menyelesaikan problematika umat, berarti telah melakukan peran politik. Oleh karena itu, wanita dapat melakukan peran politik meskipun tidak menjadi penguasa (penentu kebijakan).5
Seruan Allah dalam hal aktivitas perempuan di dunia politik secara umum mempunyai implikasi pada hukum yang berkaitan dengan wanita dalam kedudukannya sebagai individu manusia, islam menetapkan hokum yang sama antara pria dan wanita dalam masalah kewajiban berdakwah (amar ma’ruf nahi munkar), kewajiban menuntut ilmu serta kewajiban menunaikan ibadah-ibadah ritual (mahdhah).
  1. Hukum Politik Wanita
Keterlibatan dalam politik adalah wajib bagi kaum muslimin, baik laki-laki maupun perempuan. Rasulullah saw bersabda, “siapa saja bangun di pagi hari dan perhatiannya kepada selain Allah, maka ia tidak berurusan dengan Allah. Dan barangsiapa yang bangun pagi dan tidak memperhatikan urusan kaum muslimin, maka ia tidak termasuk golongan mereka (kaum muslimin).” (HR Hakim dan Al Khatib dari Hudzaifah r.a.)
jihad yang paling utama adalah menyatakan kebenaran kepada penguasa yang dzalim.” (HR Abu Dawud)
penghulu syuhada adalah Hamzah bin Abdul Mutholib dan (setara dengannya) seorang yang berdiri ke depan penguasa yang dzalim menyerukan kepadanya untuk berbuat baik (melarangnya berbuat mungkan) kemudian ia dibunuh”
Allah swt berfirman:
ولتكم منكم أمّة يدعون إلى الخير ويأ مرون با لمعروف وينهون عن المنكر. وأولئك هم المفلحون
Dan hendaklah ada diantara kalian umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran: 104)
Hadis-hadis dan ayat Al-Qur’an tersebut menunjukkan bahwa keterlibatan dalam politik merupakan kewajiban bagi kaum muslimin. Hal ini ditunjukkan oleh adanya celaan bagi yang tidak memperhatikan urusan umat dalam hadis pertama. Kata man, rijal, dan kum “(adalah umum yang berarti seruan) dalam hadis dan Al-Qur’an tersebut ditujukan secara umum kepada kaum muslimin baik laki-laki maupun perempuan. Oleh karena itu, siapa saja, termasuk muslimah harus memiliki kepedulian terhadap masalah politik yaitu pengaturan urusan umat.6
Pendapat yang membolehkan wanita menjadi pemimpin negara juga dari Ahmadiyah, Naib Amir Ahmadiyah Indonesia, H. Suyuti Azis, memandang tidak ada perbedaan antara wanita dan pria, karena dalam pandangan Allah terletak pada ketakwaan seseorang. Tidak masalah jika perempuan menjadi pemimpin negara.7













1 RAy. Sitoresmi Prabuningrat, Sosok Wanita Muslimah, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, cet 2 1997), hal. 8

2 M. Quraish Syihab, Perempuan, (Tangerang: Lentera Hati, cet. 5 2009), hlm. 377-382.

3 Ray. Sitoresmi Prabunigrat, Op. Cit, hal 56

4 Agus Purwadi, Islam dan Gender, (Yogyakarta: Aditya Media, 2000), hal. 191

5 Siti Muslikhati, Op. Cit, hal. 139-140

6 Siti Muslikhati, Ibid, hal 137

7 Areif Subhan, dkk, Citra Perempuan dalam Islam: Pandangan Oras Keagamaan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal 126





0 opmerkings:

Plaas 'n opmerking