Pages

11 April 2015

Bayi Tabung Dalam Pandangan Fiqh

BAYI TABUNG DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Bayi tabung sering disebut sebagai sel telur yang dibuahi oleh sperma yang sudah siap untuk diletakkan kedalam rahim seorang ibu.
Dalam ajaran Islam, hadirnya keturunan merupakan kehendak dari Allah bagi setiap hamba-Nya. Setiap manusia yang beriman wajib berusaha mendapatkannya, entah melalui proses alami maupun usaha medis seperti bayi tabung.
Sebagai informasi, ada dua macam insemasi (pembuahan secara teknologi, bukan alamiah).
  • Insemasi heterolog,pembuahan yang selnya bukan berasal dari suami-istri yang sah
  • Insemasi homolog, insemasi yang berasal dar sel air mani suami istri sah.
Adapun dalam bukunya Dr. Abdurrahman Muhammad Faudah “fatwa-fatwa medis kontemporer” ada lima proses bayi tabung yang diharamkan :
  1. Pengawinan antara sperma suami dan sel telur dari perempuan lain, lalu hasilnya diletakkan di rahim istrinya sendiri.
  2. Pengawinan sel telur wanit dengan sperma lelaki yang bukan suaminya, lalu hasilnya diletakkan di rahim wanita tersebut.
  3. Pengwaninan antara sel sperma suami dan sel telur istri yang dilakukan di luar rahim, lalu hasilnya diletakkan di wanita lain yang rela untuk mengandungnya.
  4. Pengawinan sperma suami dan sel telur wanita lain di luar rahim, lalu hasil diletakkan di rahim istri.
  5. Pengawinan sperma suami dan sel telur istri, lalu diletakkan di istri yang lain (maksudnya hasil diletakkan di istri ke dua atau ketiga bagi suami yang poligami).

Kaidah Fiqh
Hajat (kebutuhan yang sangat penting itu) diperlukan seperti dalam keadaan terpaksa (emergenci), padahal darurat atau terpaksa itu membolehkan melakukan hal-hal yang terlarang.

Dari kaidah Fiqh di atas, maka untuk memenuhi kebutuhan dalam memperoleh keturunan melalui insemasi buatan “dibolehkan” karena ada faktor yang akhirnya diberi keringanan oleh agama
Maka dari itu, menimbang maslhahah dan mafsadah yang dapat muncul dari bayi tabung, majels ulama Indonesia (MUI) memutuskan:
  • Bayi tabung dari suami istri yang sah hukumnya boleh.
  • Bayi tabung yang diletakkan di istri yang lain hukumnya haram.
  • Bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal hukumnya haram, karena akan menimbulkan masalah dalam kewarisan.
  • Bayi tabung hasil dari bukan pasangan suami istri yang sah hukumnya haram karena statusnya sama dengan zina.

Asuransi Dalam Perspektif Islam

Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam
Di zaman yang sudah semakin modern ini, di tengah-tengah geliat ekonomi yang semakin berkembang pusat, mau tidak mau seseorang harus lebih ekstra dalam memikirkan dirinya sendiri. Dan fenomena yang merebak akhir-akhir adalah praktik asuransi yang ada di lingkungan masyarakat.
Sebuah fenomena dimana seseorang memberikan sebagian harta bendanya pada pihak tertentu untuk menanggung beban yang dihadapi di kemudian hari. Sebagai contohnya adalah asuransi jiwa, asuransi yang dimana seseorang membayar sejumlah nominal pada pihak tertentu untuk menanggung beban yang dihadapi orang itu jika ada suatu kejadian yang tidak terkira di waktu-waktu berikutnya.
Sebuah fenomena yang tujuannya adalah mengalihkan risiko yang ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa yang tidak diharapkan kepada orang lain yang bersedia mengambil risiko itu dengan mengganti kerugian yang dideritanya. Sedangkan penanggung akan menghitung jumlah yang harus ditanggung jika ada anggota yang meminta pertanggungan. 1
Kebiasaan baru seperti ini, dimana seseorang sudah memprediksi atau waspada dengan masa depan yang akan dijalani dengan membayar sejumlah uang, yang juga bisa saja tidak terjadi apa-apa di kemudian hari. Dalam kata lain, asuransi merupakan proses perpindahan risiko yang ketidakpastiannya mencakup apakah kerugian akan muncul, kapan terjadinya, seberapa besar dampaknya, dan berapa kali kemungkina terjadi kerugian.2
Melihat fenomena seperti ini, apakah asuransi merupakan sesuatu yang baik dalam perspektif hukum Islam?.

  1. Hukum
Masalah asuransi dalam pandangan ajaran islam termasuk masalah ijtihadiyah, artinya hukum perlu dikaji sedalam mungkin karena tidak dijelaskan oleh Alqur’an dan hadist secara eksplisit. Para imam mujtahid seperti imam Hanafi, imam Maliki, imam Hambali, imam Syafi’i tidak memberikan fatwa mengenai asuransi karena pada saat itu asuransi belum dikenal.
Dikalangan ulama atau cendekiawan muslim terdapat empat pendapat tentang hukum asuransi, yaitu:
  1. Mengharamkan asuransi dalam segala macam dan bentuknya, termasuk asuransi jiwa.
Kelompok ini adalah Sayyid Sabi, Yusuf al-Qardhawi, karena menganggap asuransi pada hakikatnya sama dengan judi, mengandung unsur tidak jelas, riba, hidup dan matinya manusia dijadikan objek bisnis.
  1. Membolehkan semua asuransi dalam prakteknya sekarang ini.
Kelompok ini adalah Abdul Wahab Khalaf, Muhammad Yusuf Musa. Alasannya karena menganggap tidak ada nash larangan dalam Alqur’an dan Hadis, ada kerelaan antara penanggung dan tertanggung yang berjanji, menguntungkan kedua belah pihak, termasuk akad mudhorobah, dan menjaga manusia dari kecelakaan harta benda, kekayaan, dan kepribadian.
Asuransi juga termasuk syirkah, yang mana syirkah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan konstribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuangan dan risiko ditanggung bersama.3
  1. Membolehkan asuransi yang bersifat sosial dan mengharamkan yang bersifat komersial
  2. Asuransi hukumnya syubhat karena tidak ada dalil yang jelas-jelas mengharamkan atau menghalalkan. Konsekuensinya adalah umat Islam dituntut untuk berhati-hati terhadap asuransi, dan baru diperbolehkan menjadi polis atau mendirikan perusahaan asuransi apabila dalam keadaan darurat. 4

Dari macam-macam bentuk asuransi diatas, asuransi bisa masuk dalam akad jaminan. Asas hukumnya adalah.
حَديث أبي هريرة صلّى الّله عليه وسلّم أنّ رسول الّله صلّى الّله عليه وسلّم كَانَ يُؤْتَي بالرَّجُلِ المَيِّتِ عَلَيْهِ الدَّيْنُ فَيَسْئَلْ هَلْ تَرَكَ لِدَيْنِهِ مِنْ قَضَاءٍ فَإِنْ حُدِّثَ اَنَّهُ تَرَكَ وَفَاءَ صَلَّي عَلَيْهِ وَإِلاَّ قَالَ صَلُّوْا عَلَي صَاحِبِكُمْ فَلَمَّا فَتَحَ الّله عليه الفُتُوْحُ قَالَ أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِيْنَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ فَمَنْ تُوُفِّيَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَعَلَيَّ قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَلاً فَهُوَ لِوَرِثِهِ
Diriwayatkan dari Abi Hurairah ra.: Bahwasanya pernah ada jenazah seorang lelaki yang mempunyai hutang dihadapkan kepada Rasulullah SAW. Maka baginda bertanya: apakah si mayyit ini meninggalkan sesuatu untuk membayar hutangnya? Sekiranya baginda beritahu bahwa orang tersebut meninggalkan sesuatu untuk membayar hutangnya, maka baginda akan mendirikan shalat untuk jenazahnya. Sekiranya dia tidak meninggalkan sesuatu, maka baginda bersabda: shalatkanlah temanmu itu. Setelah Allah memberikan kemudahan kepada baginda dalam menamklukka negeri, baginda bersabda: Aku lebih berhak terhadap orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri. Karena itu, barang siapa yang mati dan meninggalkan utang maka akulah yang akan membayarnya dan barang siapa yang mati meninggalkan harta, maka harta itu untuk ahli warisnya.

Hubungannya dengan asuransi, dalam asuransi memang seolah-olah ada pihak penjamin, yakni perusahaan asuransi. Sedangkan yang dijamin adalah nasabah, dan yang menerima jaminan tergantung jenis asuransi. Jika asuransi kecelakaan, maka penerima jaminan adalah nasabah itu sendiri,
Namun dalam aturan asuranasi konvensional, ada tiga hal yang menjadi titik berat. Pertama adalah unsur gharar atau ketidakpastian. Kedua unsur maysir atau untung-untungan. Ketiga adalah riba
Oleh karena itu agar tidak terjadi tiga hal itu, jalan alternatifnya adalah asuransi syari’ah takaful. Asuransi yang dimana berjalan sesuai prinsip-prinsip syari’ah dalam fiqh muamalah yang menyangkut jaminan, syirkah, bagi hasil, dan takaful. Maksud dari takaful disini adalah asuransi yang saling menanggung antara peserta dengan perusahaan asuransi.
Selain itu takaful sebagai jalan alternatif itu karena dalam takaful nasabah diberi tahu dari mana dana yang diterimanya berasal bila ia meninggal atau mendapat musibah. Beda dengan asuransi konvensional yang jika peserta mengundurkan diri sebelum jangka waktunya premi yang dibayarkan dianggap hangus, atau hanya bisa diambil sebagian kecil saja.5
  1. Kaidah Ushul Fiqh
Asuransi merupakan akad perjanjian yang melibatkan kepentingan yang dapat diasuransikan, prinsip penjamin dan nasabah yang didalamya ada klausul-klausul yang ditentukan oleh para pihak sepenuhnya, yang didalamnya ada kebebasan untuk membentuk dan menentukan klausul dalam perjanjian, dalam hukum Islam asas kebebasan berkontrak ini merupakan suatu prinsip bahwa orang bebas untuk membuat perjanjian seperti apapun. Selain itu hukum Islam juga menganut asas kebebasan berkontrak. Seperti dalam firman Allah:
يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا أَوْفُوْ بِالْعُقُعُوْدِ
Dari ayat ini disimpulkan tentang asas kebebasan berkontrak, perintah dalam ini menunjukkan bahwa memenuhi akad-akad itu hukumnya wajib, baik akad yang bernama maupun akan yang tidak bernama.6
Penerapanya dalam asuransi, yang akad-akadnya termasuk dalam kategori mu’amalah dan tidak ada hukum secarajelas. Maka aktivitas asuransi boleh hukumnya, sesuai dengan prinsip ekonomi Islam yang disebut dengan asas kebolehan (ibahah). Hal ini didasarkan pada kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
الاَصْلُ فِيْ الاَشْيَاءِ الاِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمُ
Hukum asal setiap perkara hukumnya boleh hinga ada dalil yang mengharamkannya.

  1. Hukum
Jadi, hukum asuransi adalah karena tidak ada dalil yang mengharamkannya, dan dengan tetap menimbang pendapat-pendapat tentang asuransi yang ada. Maka asuransi hukumnya boleh jika:
  • Tidak ada paksaan
  • Tidak menimbulkan kerugian
  • Tidak mengandung ketidakjelasan
  • Tidak mengandung riba

1 Zainuddin Ali, Asuransi Syari’ah (Jakarta: Sinar Grafika, 2008) hlm 2.

2 Muhaimin Iqbal, Asuransi Umum Syari’ah ( Depok: Gema Insani, 2002) hlm 4.

3 Sahrani, Sohari dan Abdullah, Ruf’ah, Fikih Muamalah (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011) hlm177

4 Hensi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: Raja Grafindo Persada:2002) hlm 310-312.

5 Zainuddin. Op.Cit. hlm 89.

6 Kuat ismanto. Op.Cir hlm 199.

23 Maart 2015

Iddah dan Ruju' Dalam Perspektif Islam



A.    Iddah
1.      Pengertian iddah
Iddah berarti “ketentuan”. Maksudnya ialah waktu menunggu bagi bekas istri yang telah dicerai oleh suaminya, yang pada waktu bekas istri tidak boleh kawin dengan laki-laki lain.
Hukum menunggu bagi bekas istri yang telah dicerai oleh suaminya atau suaminya meninggal dunia itu adalah wajib dan lama waktunya ditetapkan oleh agama sesuai dengan keadaan bekas suami yang mencerai atau istri yang dicerai.
2.      Ketentuan-ketentuan iddah
a.    Bagi perempuan yang hamil, Iddahnya adalah sampai melahirkan anak yang dikandungnya itu, baik cerai mati maupun cerai hidup.
b.    Perempuan yang tidak hamil. Cerai mati iddahnya empat bulan sepuluh hari. Cerai hidup, kalau dalam keadaan Haid, iddahnya adalah tiga kali suci. Jika tidak sedang Haid, Iddahnya adalah tiga bulan. [1]

B.     Ruju’
1.      Pengertian
Ruju’ atau dalam istilah hukum disebut raja’ah secara arti kata berarti “kembali”. Orang yang ruju’ kepada istrinya berarti kembali kepada istrinya. Sedangkan definisinya dalam pengertian fiqh menurut Al-Mahali adalah:
“Kembali kedalam hubungan perkawinan dari cerai yang bukan bain, selama dalam masa iddah.”
Ruju’ yang berasal dari bahasa Arab telah menjadi bahasa Indonesia terpakai yang artinya menurut KBBI adalah: “Kembalinya suami kepada istrinya yang ditalak, yaitu talak satu atau talak dua, ketika istri masih dimasa iddah.”[2]
Dilihat dari satu sisi yaitu rujuk itu menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan sebagaimana juga pada perkawinan, namun antara keduanya terdapat perbedaan yang prinsip dalam rukun yang dituntut untuk sahnya kedua bentuk lembaga tersebut.
Pada ruju’ menurut yang disepakati oleh ulama, ruju’ tidak memerlukan wali untuk mengakadkannya, tidak perlu dihadiri oleh dua orang saksi dan tidak perlu juga mahar. Dengan demikian pelaksanaan ruju’ lebih sederhana dibandingkan dengan perkawinan.[3]
2.      Tata Cara Ruju’
Instruksi Presiden R.I Nomor 1 Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Bab VXII Rujuk bagian kedua tentang tata cara rujuk pasal 167, berbunyi:
1)      Suami yang hendak meruku’ istrinya datang bersama-sama istrinya ke Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami istri dengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain yang diperlukan.
2)      Ruju’ dilakukan dengan persetujuan istri dihadapan Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah.
3)      Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah memeriksa dan menyelidiki apakah suami yang akan meruju’ itu memenuhi syarat-syarat meruju’ menurut hukum munakahat, apakah ruju’ yang akan dilakukan itu masih dalam iddah talak raj’I, apakah perempuan yang akan diruju’ itu adalah istrinya.
4)      Setelah itu suami mengucapkan ruju’nya dan masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani hukum pendaftaran ruju’.
5)      Setelah ruju’ itu dilaksanakan, pegawai pencatat nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah menasehati suami istri tentang hukum-hukun dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan ruju’.[4]



[1] Beni Ahmad Saibani, Fiqh Munakahat 2 (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hlm 135
[2] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2007), hal. 337.
[3] Amir Syarifuddin, Op. Cit, hal.338-339.
[4] Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama R.I, 2000), hal. 75-76.

Zhihar dan sejenisnya



A.    Zhihar
1.      Pengertian
Zhihar secara bahasa artinya “punggung”, maksudnya ketika suami berkata kepada istri “Engkau dengan Aku seperti punggung ibuku”. Zhihar ini hanya boleh dilakukan oleh suami yang berakal sehat, muslim, perkawinannya sah menurut hukum.
Dalam kitab Fathul Bari disebut punggung karena pada umumnya punggunglah tempat tunggangan. Sehingga perempuan diumpamakan oleh kaum lelaki sebagai tunggangan. Zhihar ini, meskipun dalam hati suami ada keinginan untuk mentalak maka hukumnya bukan sebagai talak, dan zhihar ini tidak menyebabkan istri tertalak dari suaminya.
Hukum asal dari Zhihar adalah makruh, dan haram apabila tujuannya untuk menggantung nasib istri dan membiarkannya hidup terkatung-katung.
2.      Akibat Zhihar
Suami yang mengzhihar istrinya dengan sah bisa menimbulkan dua macam akibat:
Pertama, haram menyetubuhi sebelum ia membayar kafarat. Karena haram bersetubuh, maka haram pula mencium, mengecup, mengecup leher, dan sebagainya menurut pendapat mayoritas ulama.
Kafaratnya itu memerdekakan seorang budak perempuan. Jika tidak mampu, maka puasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu maka harus memberi makan 60 orang miskin. Kafarat ini sangat berat karena ingin menjaga kelanggengan hubungan suami istri agar suami mau menjaga hubungannya dengan baik dan tidak mau berbuat dzalim.
Kedua, wajib bayar kafarat dan berhak kembali lagi.  Kembali lagi disini maksudnya adalah kembali kehendak untuk bersetubuh yang semula hukumnya haram karena Zhihar tadi. Sebab, dengan adanya kehendak, berarti sudah kembali dari tekad berbuat Zhihar menjadi tekad untuk tidak berbuat Zhihar lagi. [1]

B.     Ila’
1.      Pengertian ila’
Ila’ menurut bahasa berarti “bersumpah tidak akan mengerjakan sesuatu pekerjaan”. Di kalangan orang Arab Jahiliyah perkataan ila’ mengandung arti “sumpah suami bahwa ia tidak akan mengadakan hubungan sebagai suami istri dengan istrinya. Apabila seorang suami pada masa itu telah meng-ila’ istrinya berarti istrinya itu telah dicerainya selama-lamanya dan tidak boleh dikawini oleh laki-laki lain.
اَّلذِ يْنَ يُؤْلُؤْ نَ مِنْ نِسَا ئِهِمْ تَرَ بُّصُ اَرْ بَعَةَ اَشْهُرٍ. فَإِ نْ فَاءُوْا  فَإِ نَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ. وَ إِنْ عَزَمُوا االطَّلَا قَ فَإِ نَّ اللهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ.
Kepada orang-orang yang meng-ila’ istrinya diberi tangguh empat bulan lamanya. Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, jika mereka ber’azam (bertetap hai untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Q.S Al-Baqarah: 226, 227)
2.      Syarat-syarat ila’
a.       Syarat-syarat yang berhubungan dengan suami istri, suami yang          diperbolehkan meng-ila’ ialah suami yang baligh, berakal dan tidak gila.
b.      Ila’ hendaklah berupa sumpah
·         Sumpah ila’ harus disertai denagn nama Allah atau salah satu sifat-Nya
·         Pelanggaran ila’ oleh suami haruslah denagn membayar kafarat yang jumlanya sama dengan jumlah kafarat sumpah
c.       Isi ila’ itu hendaklah bahwa suami tidak akan mencampuri istrinya. Sumpah suami yang tidak mengandung pengertian tersebut tidak dihukum sebagai ila’
d.      Waktu menunggu, yaitu waktu yang ditentukan oleh suami di dalam ila’nya yang dalam waktu tersebut ia tidak akan mencampuri istrinya.[2]
                        
C.    Li’an
Li’an adalah saling menyatakan bersedia dilaknat Allah setelah bersaksi sebanyak empat kali dan dikuatkan dengan sumpahnya sendiri.
Contohnya adalah ketika ada seorang suami yang menuduh istrinya berzina dengan persaksian sebanyak empat kali, yang menyatakan bahwa tuduhannya benar. Dan ucapan kelima adalah menunjukkan bahwa dirinya akan dilaknat Allah jika tuduhannya itu dusta.
Lalu proses selanjutnya, istrinya yang menerima tuduhan itu menyanggah tuduhan suaminya dengan bersaksi sebanyak empat kali bahwa suaminya berdusta. Dan sumpah kelimanya juga akan dilaknat Allah jika ternyata ucapan suaminya itu benar, atau suami tidak mengakui kehamilan istrinya sebagai hasil dari benihnya.
Maka dari itu, ketika terjadi hal demikian maka suami istri itu harus melakukan sumpah atas tuduhan dan sanggahan tuduhannya. Selain itu, sepasang suami istri juga tidak dihalalkan untuk berhubungan badan.[3]
  Deskrips perkataan Li’an adalah “Saya persaksikan kepada Allah, bahwa saya benar terhadap tuduhan saya kepada istri saya bahwa dia berzina”. Ucapan itu diulangi empat kali, kemudian di tambah lagi dengan kalimat sumpahnya  Laknat Allah akan menimpaku jika aku dusta.
Jika tuduhannya benar, maka akibat Li’an bagi suami adalah :
-          Suami tidak disiksa
-          Istri wajib disiksa, dengan 80 kali siksaan
-          Suami istri bercerai selama-lamanya.



[1] Ibid, hal 130-131.
[2] Kamal Muchtar, ibid. hal 190-198
[3] Sayyid sabiq, Fiqih Sunah 5-8 (Bandung, PT Al Ma’arif, 1978), hal. 134