A.
Prosedur Pengasuhan Anak atau Hadhonah dalam Komplikasi
Hukum Islam
Secara bahasa hadhonah(حضانة) dapat dilihat dari derivasi kata
tersebut.Kata hadhonah jamaknya ahdhan(احضان) atau hudhun(حُضن)
diambil dari kata (حِضن) yaitu anggota badan yang terletak di bawah
ketiak hingga al-kayb (bagian badan sekitar pinggul antara pusat hungga
pinggang).Kalau disebutkan hidhn as-syay, yang dimaksud adalah dua sisi
dari sesuatu.Burung dikatakan hadhanat-tha’ir baydhahu(حضن الطائر بيضه), ketika burung itu mengerami telurnya karena dia mengumpulkan
(mengempit) telurnya itu kedalam dirinya dibawah (himpitan) sayapnya.Demikian
pula, sebutan hadhonah diberikan kepada seorang perempuan (ibu) manakala
mendekap (mengemban) anaknya dibawah ketiak, dada serta pinggulnya. Dengan kata
lain, anak tersebut berada dibawah pengasuhan ibu.
Maka hadhonah secara bahasa atau
dipengaruhi makna secara bahasa, dapat dilihat dalam KHI, pasal I huruf g yang
berisi, “pemeliharaan anak atau hadhonah adalah kegiatan mengasuh, memelihara,
dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri.”[1]
Secara umum, masalah hadhonah
dibahas dalam pasal 98, sebagai berikut:
BAB
XIV
PEMELIHARAAN
ANAK
Pasal
98
(1)
Batas
usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanang anak
tersebut tidak memiliki cacat fisik maupun mental atau belum pernah
melangsungkan perkawinan.
(2)
Orang
tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di
luar pengadilan.
(3)
Pengadilan
agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan
kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.
Dalam pasal lain dijelaskan pula
tentang status anak yang bisa dijadikan sebagai hak urus orang tua terhadap
anaknya.Artinya, anak yang sah memiliki hak untuk diurus dan dipelihara oleh
orang tuanya. Hal itu diuraikan dalam pasal 99, sebagai berikut:
Pasal
99
Anak
yang sah adalah:
(1)
Anak
yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
(2)
Hasil
pembuahan suami-istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri
tersebut.
Pasal
103
(1)
Asal
usul seorang anak hanya dapat dibuktikan
dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya.
(2)
Bila
akta kelahiran atau alat bukti lainnya yang tersebut dalam ayat (1) tidak ada,
maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang
anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang
sah.
(3)
Atas
dasar ketetapan Pengadilan Agama yang tersebut dalam ayat (2), maka instansi
Pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama tersebut
mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
KHI secara terperinci menjelaskan
secara umum tentang biaya dan proses hadhonah yang harus dijalankan oleh
orangtua atau wali tehadap anak. Hal ini dijelaskan dalam pasal 104-106. Bunyi
pasal 104, sebagai berikut:
Pasal
104
(1)
Semua
biaya penyusuan anak dipertanggungjawabkan kepada ayahnya. Apabila ayahnya
telah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang
berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya.
(2)
Penyusuan
dilakukan untuk paling lama dua tahun, dan dapat dilakukan penyapihan dalam
masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayah dan ibunya.
Pasal
105
Dalam hal terjadinya perceraian:
(1)
Pemeliharaan
anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
(2)
Pemeliharaan
anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah
atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.
(3)
Biaya
pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Pasal
106
(1)
Orang
tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau
dibawah pengampunan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya
kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan kemaslahatan anak
itu menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi.[2]
0 opmerkings:
Plaas 'n opmerking