A.
TALAK
1.
Pengertian Talak
Perceraian dalam istilah ahli fiqih adalah “talak” atau “furqah”
yang berarti membuka ikatan, membatalkan perjanjian, “furqah” berarti
bercerai, lawan dari berkumpul.[1]
Talak di ambil dari kata Itlak اِطْلَاقٌ, artinya melepaskan, atau meninggalkan.
Dalam istilah agama, talak adalah melepaskan ikatan perkawinan, atau
rusaknya hubungan perkawinan.[2]
Ikatan antara suami istri adalah ikatan yang paling suci dan paling
kokoh, sehingga tidak ada suatu dalil
yang jelas menunjukkan tentang kesuciannya yang begitu agung selain Allah
sendiri yang menanamkan ikatan perjanjian antara suami istri dengan kalimat مِيثَقًا غَلِيْظًا “perjanjian
yang kokoh”
Sebagaimana yang disebutkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
وَاَخَذْ نَ
مِنْكُمْ مِيْثَقًا غَلِيْظًا
Artinya:
“Dan mereka (istri-istrimu) telah memberi dari kamu perjanjian
yang kuat” (QS, An-Nisa: 21)
Begitu kuat dan kokohnya hubungan antara suami istri, maka tidak
sepantasnya apabila hubungan tersebut dirusak atau disepelekan. Setiap usaha untuk
menyepelekan hubungan pernikahan dan melemahkannya sangat dibenci oleh Islam,
karena ia merusak kebaikan dan menghilangkan kemaslahatan antara suami istri.
Dalam Islam, perceraian atau talak dimungkinkan sebagai pintu akhir
dalam rumah tangga yang tidak bisa dipertahankan. Rumah tangga yang sudah tidak
harmonis lagi dan dipastikan tidak akan menemukan titik persamaan, maka cerai
menjadi jawabannya, namun meskipun cerai ini didudukkan sebagai sesuatu yang
boleh (halal), Rasulullah SAW menganggapnya sebagai sesuatu yang angat dibenci
oleh Allah SWT. Hal ini ditegaskan dalam sabda belian, yang menyatakan bahwa:
عَنْ اِبْنُ
عُمَرَ اَنَّ رَسُوْ لَ اللهَ ص.م. قا ل : اَبْغَضُ الْحَلَا لَ اِلى اللهِ
الطَّلَاقُ
Artinya: “Perbuatan halal yang sangat dibenci Allah SWT adalah
talak” (H.R. Abu Daud, Ibn Majah, dan al-Hakim dari Ibnu Umar).[3]
2.
Macam-macam talak
- Talak Raj’I, yaitu Talak yang dijatuhkan suami kepada istri yang telah
dikumpuli, bukan karena tebusan, bukan pula Talak yang ketiga kalinya. Pada
Talak ini, suami secara langsung dapat kembali kepada istrinya yang dalam masa
Iddah tanpa harus melakukan akad nikah yang baru.
-
Talak Ba’in,
yaitu jenis talak yang tidak dapat dirujuk oleh suami, kecuali dengan
perkawinan baru walaupun dalam masa Iddah. Talak Ba’in dibagi menjadi dua.
Sughro dan Kubro.
Talak Ba’in Sughro ialah Talak satu atau dua dengan menggunakan
tebusan dari pihak istri atau pengadilan dalam bentuk Fasakh. Dalam bentuk ini,
suami yang akan kembali pada istri dapat langsung melalui pernikahan baru.
Sedangkan Talak Ba’in Kubro ialah Talak tiga, baik sekali ucapan
atau berturut-turut. Talak ini menyebabkan si suami tidak boleh kembali kepada
istrinya, meskipun dalam nikah baru. Kecuali bila istrinya itu telah menikah
dengan lelaki lain, kemudian dicerai dan habis pula Iddahnya. [4]
3.
Rukun dan syarat Talak
a.
Suami, yaitu orang yang memiliki hak Talak dan yang berhak
menjatuhkannya. Selain suami tidak berhak menjatuhkan. Sementara syarat suami
yang menjatuhkan Talak, disyaratkan berakal, baligh, dan atas kemauan sendiri.
b.
Istri, masing-masing suami hanya berhak menjatuhkan Talak terhadap
istri sendiri. Bagi istri yang ditalak, disyaratkan:
- Istri masih
berada dalam perlindungan suami.
- Kedudukan istri
yang ditalak itu harus berdasarkan atas akad perkawinan yang sah.
c.
Sighot Talak, ialah kata-kata yang diucapkan oleh suami kepada
istrinya yang menunjukkan Talak, baik itu Sharih (jelas), maupun Kinayah
(sindiran), baik berupa ucapan atau lisan, tulisan, isyarat, bagi suami
tunawicara, ataupun dengan suruhan orang lain.
d.
Qosdu (sengaja), artinya bahwa ucapan Talak itu diucapkan dengan
maksud Talak, bukan maksud yang lain.[5]
B.
Perceraian sebab khuluk
1.
Arti khuluk
Khuluk
berarti “menanggalkan”, seperti menanggalkan pakaian. Kemudian dipakai dengan
arti “menanggalkan istri”, karena istri itu adalah pakaian dari suami dan suami
adalah pakaian dari istri.
Khuluk
menurut istilah ilmu fiqih berarti menghilangkan atau membuka buhul akad nikah
dengan kesediaan istri membayar iwadh (ganti rugi) kepada pemilik akad nikah
itu (suami) dengan menggunakan perkataan “cerai” atau “khuluk”. Iwadh dapat
berupa pengembalian mahar oleh istri kepada suami atau sejumlah barang, uang
atau sesuatu yang dipandang mempunyai nilai yang telah disepakati oleh kedua
belah pihak.
Contoh
sighat khuluk itu ialah, seperti suami mengatakan kepada istrinya: “Aku
cerai atau khuluk engkau dengan iwadh sebesar Rp. 1.000”. Istri menjawab: “Aku
bersedia membayarnya”. Atau dengan perkataan istri kepada suaminya: “Talaklah
atau khuluklah aku dengan iwadh sebesar Rp. 1.000”. Suami menjawab: “Aku
bersedia”
Sighat
khuluk mengandung pengertian “penggantungan” dan ganti rugi oleh pihak istri.
Apabila suami mengatakan kepada istrinya: “Aku khuluk kamu dengan iwadh
sebesar seribu rupiah”, maka dengan ucapan suami itu tergantunglah
perceraian. Perceraian akan terjadi apabila istri telah membayar jumlah yang
disyaratkan suami.
2.
Dasar hukum khuluk
فَإِ نْ خِفْتُمْ اَلَّا
يُقِيْمَا حُدُ وْ دُ اللهِ فَلاَ جُنَا حَ عَاَيْهَما فِيْمَا افْتَدَ تْ بِهِ
“maka
jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat melaksanakan
hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang
diberikan oleh istri untuk menebus dirinya” (Q.S Al-Baqarah: 229)
3. Syarat khuluk
Khuluk sah apabila
telah ada syarat-syarat berikut ini:
a. Kerelaan dan persetujuan antara suami
istri
b. Istri yang dapat dikhuluk, yaitu istri
yang mukallaf dan telah terikat dengan akad nikah yang sah dengan suaminya.
c. Iwadh (pengganti)
d. Waktu menjatuhkan khuluk, boleh
dijatuhkan pada masa haidh, masa nifas, dan pada masa suci yang belum dicampuri
atau yang telah dicampuri dan sebagainya.[6]
[1] Kamal Muchtar,
Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: PT Bulan Bintang,
1993), hal. 156
[2] Slamet Abidin
dan Aminudin, Fiqh Munakahat II, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 1999), hal.
9
[3] Zaitunah
Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, (Jakarta: 2008), hlm. 235
[4] Amir
Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh. (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm
131.
[5] Abd Rahman
Ghozali, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006),
hlm 201-204
[6] Kamal Muchtar,
Op. Cit, hal 181-188
joya shoes 832f8qaxwm814 joya sko danmark,joya sko norge,joya skor stockholm,joya cipő,joya zapatos,joya schoenen,joya scarpe,joya chaussures,joya schuhe,joya schuhe deutschland joya shoes 605g9kuuwh687
AntwoordVee uit