Pages

23 Maart 2015

Pengertian Talak



A.    TALAK
1.      Pengertian Talak
Perceraian dalam istilah ahli fiqih adalah “talak” atau “furqah” yang berarti membuka ikatan, membatalkan perjanjian, “furqah” berarti bercerai, lawan dari berkumpul.[1]
Talak di ambil dari kata Itlak اِطْلَاقٌ, artinya melepaskan, atau meninggalkan. Dalam istilah agama, talak adalah melepaskan ikatan perkawinan, atau rusaknya hubungan perkawinan.[2]
Ikatan antara suami istri adalah ikatan yang paling suci dan paling kokoh,  sehingga tidak ada suatu dalil yang jelas menunjukkan tentang kesuciannya yang begitu agung selain Allah sendiri yang menanamkan ikatan perjanjian antara suami istri dengan kalimat مِيثَقًا غَلِيْظًا “perjanjian yang kokoh”
Sebagaimana yang disebutkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
وَاَخَذْ نَ مِنْكُمْ مِيْثَقًا غَلِيْظًا
Artinya:
Dan mereka (istri-istrimu) telah memberi dari kamu perjanjian yang kuat” (QS, An-Nisa: 21)
Begitu kuat dan kokohnya hubungan antara suami istri, maka tidak sepantasnya apabila hubungan tersebut dirusak atau disepelekan. Setiap usaha untuk menyepelekan hubungan pernikahan dan melemahkannya sangat dibenci oleh Islam, karena ia merusak kebaikan dan menghilangkan kemaslahatan antara suami istri.
Dalam Islam, perceraian atau talak dimungkinkan sebagai pintu akhir dalam rumah tangga yang tidak bisa dipertahankan. Rumah tangga yang sudah tidak harmonis lagi dan dipastikan tidak akan menemukan titik persamaan, maka cerai menjadi jawabannya, namun meskipun cerai ini didudukkan sebagai sesuatu yang boleh (halal), Rasulullah SAW menganggapnya sebagai sesuatu yang angat dibenci oleh Allah SWT. Hal ini ditegaskan dalam sabda belian, yang menyatakan bahwa:
عَنْ اِبْنُ عُمَرَ اَنَّ رَسُوْ لَ اللهَ ص.م. قا ل : اَبْغَضُ الْحَلَا لَ اِلى اللهِ الطَّلَاقُ
Artinya: “Perbuatan halal yang sangat dibenci Allah SWT adalah talak” (H.R. Abu Daud, Ibn Majah, dan al-Hakim dari Ibnu Umar).[3]
2.      Macam-macam talak
-       Talak Raj’I, yaitu Talak yang dijatuhkan suami kepada istri yang telah dikumpuli, bukan karena tebusan, bukan pula Talak yang ketiga kalinya. Pada Talak ini, suami secara langsung dapat kembali kepada istrinya yang dalam masa Iddah tanpa harus melakukan akad nikah yang baru.
-          Talak Ba’in, yaitu jenis talak yang tidak dapat dirujuk oleh suami, kecuali dengan perkawinan baru walaupun dalam masa Iddah. Talak Ba’in dibagi menjadi dua. Sughro dan Kubro.
Talak Ba’in Sughro ialah Talak satu atau dua dengan menggunakan tebusan dari pihak istri atau pengadilan dalam bentuk Fasakh. Dalam bentuk ini, suami yang akan kembali pada istri dapat langsung melalui pernikahan baru.
Sedangkan Talak Ba’in Kubro ialah Talak tiga, baik sekali ucapan atau berturut-turut. Talak ini menyebabkan si suami tidak boleh kembali kepada istrinya, meskipun dalam nikah baru. Kecuali bila istrinya itu telah menikah dengan lelaki lain, kemudian dicerai dan habis pula Iddahnya. [4]
3.      Rukun dan syarat Talak
a.    Suami, yaitu orang yang memiliki hak Talak dan yang berhak menjatuhkannya. Selain suami tidak berhak menjatuhkan. Sementara syarat suami yang menjatuhkan Talak, disyaratkan berakal, baligh, dan atas kemauan sendiri.
b.    Istri, masing-masing suami hanya berhak menjatuhkan Talak terhadap istri sendiri. Bagi istri yang ditalak, disyaratkan:
-       Istri masih berada dalam perlindungan suami.
-       Kedudukan istri yang ditalak itu harus berdasarkan atas akad perkawinan yang sah.
c.    Sighot Talak, ialah kata-kata yang diucapkan oleh suami kepada istrinya yang menunjukkan Talak, baik itu Sharih (jelas), maupun Kinayah (sindiran), baik berupa ucapan atau lisan, tulisan, isyarat, bagi suami tunawicara, ataupun dengan suruhan orang lain.
d.      Qosdu (sengaja), artinya bahwa ucapan Talak itu diucapkan dengan maksud Talak, bukan maksud yang lain.[5]


B.     Perceraian sebab khuluk
1.    Arti khuluk
Khuluk berarti “menanggalkan”, seperti menanggalkan pakaian. Kemudian dipakai dengan arti “menanggalkan istri”, karena istri itu adalah pakaian dari suami dan suami adalah pakaian dari istri.
Khuluk menurut istilah ilmu fiqih berarti menghilangkan atau membuka buhul akad nikah dengan kesediaan istri membayar iwadh (ganti rugi) kepada pemilik akad nikah itu (suami) dengan menggunakan perkataan “cerai” atau “khuluk”. Iwadh dapat berupa pengembalian mahar oleh istri kepada suami atau sejumlah barang, uang atau sesuatu yang dipandang mempunyai nilai yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
Contoh sighat khuluk itu ialah, seperti suami mengatakan kepada istrinya: “Aku cerai atau khuluk engkau dengan iwadh sebesar Rp. 1.000”. Istri menjawab: “Aku bersedia membayarnya”. Atau dengan perkataan istri kepada suaminya: “Talaklah atau khuluklah aku dengan iwadh sebesar Rp. 1.000”. Suami menjawab: “Aku bersedia
Sighat khuluk mengandung pengertian “penggantungan” dan ganti rugi oleh pihak istri. Apabila suami mengatakan kepada istrinya: “Aku khuluk kamu dengan iwadh sebesar seribu rupiah”, maka dengan ucapan suami itu tergantunglah perceraian. Perceraian akan terjadi apabila istri telah membayar jumlah yang disyaratkan suami.
2.      Dasar hukum khuluk
فَإِ نْ خِفْتُمْ اَلَّا يُقِيْمَا حُدُ وْ دُ اللهِ فَلاَ جُنَا حَ عَاَيْهَما فِيْمَا افْتَدَ تْ بِهِ
maka jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat melaksanakan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya” (Q.S Al-Baqarah: 229)
3.      Syarat khuluk
Khuluk sah apabila telah ada syarat-syarat berikut ini:
a.    Kerelaan dan persetujuan antara suami istri
b.    Istri yang dapat dikhuluk, yaitu istri yang mukallaf dan telah terikat dengan akad nikah yang sah dengan suaminya.
c.    Iwadh (pengganti)
d.   Waktu menjatuhkan khuluk, boleh dijatuhkan pada masa haidh, masa nifas, dan pada masa suci yang belum dicampuri atau yang telah dicampuri dan sebagainya.[6]




[1] Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1993), hal. 156
[2] Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqh Munakahat II, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 1999), hal. 9
[3] Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, (Jakarta: 2008), hlm. 235
[4] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh. (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm 131.
[5] Abd Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hlm 201-204
[6] Kamal Muchtar, Op. Cit, hal 181-188

1 opmerkings: