Pages

11 April 2015

Asuransi Dalam Perspektif Islam

Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam
Di zaman yang sudah semakin modern ini, di tengah-tengah geliat ekonomi yang semakin berkembang pusat, mau tidak mau seseorang harus lebih ekstra dalam memikirkan dirinya sendiri. Dan fenomena yang merebak akhir-akhir adalah praktik asuransi yang ada di lingkungan masyarakat.
Sebuah fenomena dimana seseorang memberikan sebagian harta bendanya pada pihak tertentu untuk menanggung beban yang dihadapi di kemudian hari. Sebagai contohnya adalah asuransi jiwa, asuransi yang dimana seseorang membayar sejumlah nominal pada pihak tertentu untuk menanggung beban yang dihadapi orang itu jika ada suatu kejadian yang tidak terkira di waktu-waktu berikutnya.
Sebuah fenomena yang tujuannya adalah mengalihkan risiko yang ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa yang tidak diharapkan kepada orang lain yang bersedia mengambil risiko itu dengan mengganti kerugian yang dideritanya. Sedangkan penanggung akan menghitung jumlah yang harus ditanggung jika ada anggota yang meminta pertanggungan. 1
Kebiasaan baru seperti ini, dimana seseorang sudah memprediksi atau waspada dengan masa depan yang akan dijalani dengan membayar sejumlah uang, yang juga bisa saja tidak terjadi apa-apa di kemudian hari. Dalam kata lain, asuransi merupakan proses perpindahan risiko yang ketidakpastiannya mencakup apakah kerugian akan muncul, kapan terjadinya, seberapa besar dampaknya, dan berapa kali kemungkina terjadi kerugian.2
Melihat fenomena seperti ini, apakah asuransi merupakan sesuatu yang baik dalam perspektif hukum Islam?.

  1. Hukum
Masalah asuransi dalam pandangan ajaran islam termasuk masalah ijtihadiyah, artinya hukum perlu dikaji sedalam mungkin karena tidak dijelaskan oleh Alqur’an dan hadist secara eksplisit. Para imam mujtahid seperti imam Hanafi, imam Maliki, imam Hambali, imam Syafi’i tidak memberikan fatwa mengenai asuransi karena pada saat itu asuransi belum dikenal.
Dikalangan ulama atau cendekiawan muslim terdapat empat pendapat tentang hukum asuransi, yaitu:
  1. Mengharamkan asuransi dalam segala macam dan bentuknya, termasuk asuransi jiwa.
Kelompok ini adalah Sayyid Sabi, Yusuf al-Qardhawi, karena menganggap asuransi pada hakikatnya sama dengan judi, mengandung unsur tidak jelas, riba, hidup dan matinya manusia dijadikan objek bisnis.
  1. Membolehkan semua asuransi dalam prakteknya sekarang ini.
Kelompok ini adalah Abdul Wahab Khalaf, Muhammad Yusuf Musa. Alasannya karena menganggap tidak ada nash larangan dalam Alqur’an dan Hadis, ada kerelaan antara penanggung dan tertanggung yang berjanji, menguntungkan kedua belah pihak, termasuk akad mudhorobah, dan menjaga manusia dari kecelakaan harta benda, kekayaan, dan kepribadian.
Asuransi juga termasuk syirkah, yang mana syirkah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan konstribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuangan dan risiko ditanggung bersama.3
  1. Membolehkan asuransi yang bersifat sosial dan mengharamkan yang bersifat komersial
  2. Asuransi hukumnya syubhat karena tidak ada dalil yang jelas-jelas mengharamkan atau menghalalkan. Konsekuensinya adalah umat Islam dituntut untuk berhati-hati terhadap asuransi, dan baru diperbolehkan menjadi polis atau mendirikan perusahaan asuransi apabila dalam keadaan darurat. 4

Dari macam-macam bentuk asuransi diatas, asuransi bisa masuk dalam akad jaminan. Asas hukumnya adalah.
حَديث أبي هريرة صلّى الّله عليه وسلّم أنّ رسول الّله صلّى الّله عليه وسلّم كَانَ يُؤْتَي بالرَّجُلِ المَيِّتِ عَلَيْهِ الدَّيْنُ فَيَسْئَلْ هَلْ تَرَكَ لِدَيْنِهِ مِنْ قَضَاءٍ فَإِنْ حُدِّثَ اَنَّهُ تَرَكَ وَفَاءَ صَلَّي عَلَيْهِ وَإِلاَّ قَالَ صَلُّوْا عَلَي صَاحِبِكُمْ فَلَمَّا فَتَحَ الّله عليه الفُتُوْحُ قَالَ أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِيْنَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ فَمَنْ تُوُفِّيَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَعَلَيَّ قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَلاً فَهُوَ لِوَرِثِهِ
Diriwayatkan dari Abi Hurairah ra.: Bahwasanya pernah ada jenazah seorang lelaki yang mempunyai hutang dihadapkan kepada Rasulullah SAW. Maka baginda bertanya: apakah si mayyit ini meninggalkan sesuatu untuk membayar hutangnya? Sekiranya baginda beritahu bahwa orang tersebut meninggalkan sesuatu untuk membayar hutangnya, maka baginda akan mendirikan shalat untuk jenazahnya. Sekiranya dia tidak meninggalkan sesuatu, maka baginda bersabda: shalatkanlah temanmu itu. Setelah Allah memberikan kemudahan kepada baginda dalam menamklukka negeri, baginda bersabda: Aku lebih berhak terhadap orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri. Karena itu, barang siapa yang mati dan meninggalkan utang maka akulah yang akan membayarnya dan barang siapa yang mati meninggalkan harta, maka harta itu untuk ahli warisnya.

Hubungannya dengan asuransi, dalam asuransi memang seolah-olah ada pihak penjamin, yakni perusahaan asuransi. Sedangkan yang dijamin adalah nasabah, dan yang menerima jaminan tergantung jenis asuransi. Jika asuransi kecelakaan, maka penerima jaminan adalah nasabah itu sendiri,
Namun dalam aturan asuranasi konvensional, ada tiga hal yang menjadi titik berat. Pertama adalah unsur gharar atau ketidakpastian. Kedua unsur maysir atau untung-untungan. Ketiga adalah riba
Oleh karena itu agar tidak terjadi tiga hal itu, jalan alternatifnya adalah asuransi syari’ah takaful. Asuransi yang dimana berjalan sesuai prinsip-prinsip syari’ah dalam fiqh muamalah yang menyangkut jaminan, syirkah, bagi hasil, dan takaful. Maksud dari takaful disini adalah asuransi yang saling menanggung antara peserta dengan perusahaan asuransi.
Selain itu takaful sebagai jalan alternatif itu karena dalam takaful nasabah diberi tahu dari mana dana yang diterimanya berasal bila ia meninggal atau mendapat musibah. Beda dengan asuransi konvensional yang jika peserta mengundurkan diri sebelum jangka waktunya premi yang dibayarkan dianggap hangus, atau hanya bisa diambil sebagian kecil saja.5
  1. Kaidah Ushul Fiqh
Asuransi merupakan akad perjanjian yang melibatkan kepentingan yang dapat diasuransikan, prinsip penjamin dan nasabah yang didalamya ada klausul-klausul yang ditentukan oleh para pihak sepenuhnya, yang didalamnya ada kebebasan untuk membentuk dan menentukan klausul dalam perjanjian, dalam hukum Islam asas kebebasan berkontrak ini merupakan suatu prinsip bahwa orang bebas untuk membuat perjanjian seperti apapun. Selain itu hukum Islam juga menganut asas kebebasan berkontrak. Seperti dalam firman Allah:
يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا أَوْفُوْ بِالْعُقُعُوْدِ
Dari ayat ini disimpulkan tentang asas kebebasan berkontrak, perintah dalam ini menunjukkan bahwa memenuhi akad-akad itu hukumnya wajib, baik akad yang bernama maupun akan yang tidak bernama.6
Penerapanya dalam asuransi, yang akad-akadnya termasuk dalam kategori mu’amalah dan tidak ada hukum secarajelas. Maka aktivitas asuransi boleh hukumnya, sesuai dengan prinsip ekonomi Islam yang disebut dengan asas kebolehan (ibahah). Hal ini didasarkan pada kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
الاَصْلُ فِيْ الاَشْيَاءِ الاِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمُ
Hukum asal setiap perkara hukumnya boleh hinga ada dalil yang mengharamkannya.

  1. Hukum
Jadi, hukum asuransi adalah karena tidak ada dalil yang mengharamkannya, dan dengan tetap menimbang pendapat-pendapat tentang asuransi yang ada. Maka asuransi hukumnya boleh jika:
  • Tidak ada paksaan
  • Tidak menimbulkan kerugian
  • Tidak mengandung ketidakjelasan
  • Tidak mengandung riba

1 Zainuddin Ali, Asuransi Syari’ah (Jakarta: Sinar Grafika, 2008) hlm 2.

2 Muhaimin Iqbal, Asuransi Umum Syari’ah ( Depok: Gema Insani, 2002) hlm 4.

3 Sahrani, Sohari dan Abdullah, Ruf’ah, Fikih Muamalah (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011) hlm177

4 Hensi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: Raja Grafindo Persada:2002) hlm 310-312.

5 Zainuddin. Op.Cit. hlm 89.

6 Kuat ismanto. Op.Cir hlm 199.

0 opmerkings:

Plaas 'n opmerking