Asuransi
Dalam Perspektif Hukum Islam
Di zaman yang sudah semakin modern
ini, di tengah-tengah geliat ekonomi yang semakin berkembang pusat,
mau tidak mau seseorang harus lebih ekstra dalam memikirkan dirinya
sendiri. Dan fenomena yang merebak akhir-akhir adalah praktik
asuransi yang ada di lingkungan masyarakat.
Sebuah fenomena dimana seseorang
memberikan sebagian harta bendanya pada pihak tertentu untuk
menanggung beban yang dihadapi di kemudian hari. Sebagai contohnya
adalah asuransi jiwa, asuransi yang dimana seseorang membayar
sejumlah nominal pada pihak tertentu untuk menanggung beban yang
dihadapi orang itu jika ada suatu kejadian yang tidak terkira di
waktu-waktu berikutnya.
Sebuah fenomena yang tujuannya adalah
mengalihkan risiko yang ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa yang
tidak diharapkan kepada orang lain yang bersedia mengambil risiko itu
dengan mengganti kerugian yang dideritanya. Sedangkan penanggung akan
menghitung jumlah yang harus ditanggung jika ada anggota yang meminta
pertanggungan. 1
Kebiasaan baru seperti ini, dimana
seseorang sudah memprediksi atau waspada dengan masa depan yang akan
dijalani dengan membayar sejumlah uang, yang juga bisa saja tidak
terjadi apa-apa di kemudian hari. Dalam kata lain, asuransi merupakan
proses perpindahan risiko yang ketidakpastiannya mencakup apakah
kerugian akan muncul, kapan terjadinya, seberapa besar dampaknya, dan
berapa kali kemungkina terjadi kerugian.2
Melihat fenomena seperti ini, apakah
asuransi merupakan sesuatu yang baik dalam perspektif hukum Islam?.
- Hukum
Masalah asuransi dalam pandangan
ajaran islam termasuk masalah ijtihadiyah, artinya hukum perlu dikaji
sedalam mungkin karena tidak dijelaskan oleh Alqur’an dan hadist
secara eksplisit. Para imam mujtahid seperti imam Hanafi, imam
Maliki, imam Hambali, imam Syafi’i tidak memberikan fatwa mengenai
asuransi karena pada saat itu asuransi belum dikenal.
Dikalangan ulama atau cendekiawan
muslim terdapat empat pendapat tentang hukum asuransi, yaitu:
- Mengharamkan asuransi dalam segala macam dan bentuknya, termasuk asuransi jiwa.
Kelompok ini adalah Sayyid Sabi,
Yusuf al-Qardhawi, karena menganggap asuransi pada hakikatnya sama
dengan judi, mengandung unsur tidak jelas, riba, hidup dan matinya
manusia dijadikan objek bisnis.
- Membolehkan semua asuransi dalam prakteknya sekarang ini.
Kelompok ini adalah Abdul Wahab
Khalaf, Muhammad Yusuf Musa. Alasannya karena menganggap tidak ada
nash larangan dalam Alqur’an dan Hadis, ada kerelaan antara
penanggung dan tertanggung yang berjanji, menguntungkan kedua belah
pihak, termasuk akad mudhorobah, dan menjaga manusia dari kecelakaan
harta benda, kekayaan, dan kepribadian.
Asuransi juga termasuk syirkah, yang
mana syirkah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk
suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan
konstribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuangan dan risiko
ditanggung bersama.3
- Membolehkan asuransi yang bersifat sosial dan mengharamkan yang bersifat komersial
- Asuransi hukumnya syubhat karena tidak ada dalil yang jelas-jelas mengharamkan atau menghalalkan. Konsekuensinya adalah umat Islam dituntut untuk berhati-hati terhadap asuransi, dan baru diperbolehkan menjadi polis atau mendirikan perusahaan asuransi apabila dalam keadaan darurat. 4
Dari macam-macam bentuk asuransi
diatas, asuransi bisa masuk dalam akad jaminan. Asas hukumnya adalah.
حَديث
أبي هريرة صلّى الّله عليه وسلّم أنّ رسول
الّله صلّى الّله عليه وسلّم كَانَ يُؤْتَي
بالرَّجُلِ المَيِّتِ عَلَيْهِ الدَّيْنُ
فَيَسْئَلْ هَلْ تَرَكَ لِدَيْنِهِ مِنْ
قَضَاءٍ فَإِنْ حُدِّثَ اَنَّهُ تَرَكَ
وَفَاءَ صَلَّي عَلَيْهِ وَإِلاَّ قَالَ
صَلُّوْا عَلَي صَاحِبِكُمْ فَلَمَّا
فَتَحَ الّله عليه الفُتُوْحُ قَالَ
أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِيْنَ مِنْ
أَنْفُسِهِمْ فَمَنْ تُوُفِّيَ وَعَلَيْهِ
دَيْنٌ فَعَلَيَّ قَضَاؤُهُ وَمَنْ
تَرَكَ مَلاً فَهُوَ لِوَرِثِهِ
Diriwayatkan dari Abi Hurairah
ra.: Bahwasanya pernah ada jenazah seorang lelaki yang mempunyai
hutang dihadapkan kepada Rasulullah SAW. Maka baginda bertanya:
apakah si mayyit ini meninggalkan sesuatu untuk membayar hutangnya?
Sekiranya baginda beritahu bahwa orang tersebut meninggalkan sesuatu
untuk membayar hutangnya, maka baginda akan mendirikan shalat untuk
jenazahnya. Sekiranya dia tidak meninggalkan sesuatu, maka baginda
bersabda: shalatkanlah temanmu itu. Setelah Allah memberikan
kemudahan kepada baginda dalam menamklukka negeri, baginda bersabda:
Aku lebih berhak terhadap orang-orang mukmin daripada diri mereka
sendiri. Karena itu, barang siapa yang mati dan meninggalkan utang
maka akulah yang akan membayarnya dan barang siapa yang mati
meninggalkan harta, maka harta itu untuk ahli warisnya.
Hubungannya dengan asuransi, dalam
asuransi memang seolah-olah ada pihak penjamin, yakni perusahaan
asuransi. Sedangkan yang dijamin adalah nasabah, dan yang menerima
jaminan tergantung jenis asuransi. Jika asuransi kecelakaan, maka
penerima jaminan adalah nasabah itu sendiri,
Namun dalam aturan asuranasi
konvensional, ada tiga hal yang menjadi titik berat. Pertama adalah
unsur gharar
atau ketidakpastian. Kedua unsur maysir
atau untung-untungan. Ketiga adalah riba
Oleh karena itu agar tidak terjadi
tiga hal itu, jalan alternatifnya adalah asuransi syari’ah takaful.
Asuransi yang dimana berjalan sesuai prinsip-prinsip syari’ah dalam
fiqh muamalah yang menyangkut jaminan, syirkah, bagi hasil, dan
takaful. Maksud dari takaful disini adalah asuransi yang saling
menanggung antara peserta dengan perusahaan asuransi.
Selain itu takaful sebagai jalan
alternatif itu karena dalam takaful nasabah diberi tahu dari mana
dana yang diterimanya berasal bila ia meninggal atau mendapat
musibah. Beda dengan asuransi konvensional yang jika peserta
mengundurkan diri sebelum jangka waktunya premi yang dibayarkan
dianggap hangus, atau hanya bisa diambil sebagian kecil saja.5
- Kaidah Ushul Fiqh
Asuransi merupakan akad perjanjian
yang melibatkan kepentingan yang dapat diasuransikan, prinsip
penjamin dan nasabah yang didalamya ada klausul-klausul yang
ditentukan oleh para pihak sepenuhnya, yang didalamnya ada kebebasan
untuk membentuk dan menentukan klausul dalam perjanjian, dalam hukum
Islam asas kebebasan berkontrak ini merupakan suatu prinsip bahwa
orang bebas untuk membuat perjanjian seperti apapun. Selain itu hukum
Islam juga menganut asas kebebasan berkontrak. Seperti dalam firman
Allah:
يَا
اَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا أَوْفُوْ
بِالْعُقُعُوْدِ
Dari ayat ini disimpulkan tentang
asas kebebasan berkontrak, perintah dalam ini menunjukkan bahwa
memenuhi akad-akad itu hukumnya wajib, baik akad yang bernama maupun
akan yang tidak bernama.6
Penerapanya dalam asuransi, yang
akad-akadnya termasuk dalam kategori mu’amalah dan tidak ada hukum
secarajelas. Maka aktivitas asuransi boleh hukumnya, sesuai dengan
prinsip ekonomi Islam yang disebut dengan asas kebolehan (ibahah).
Hal ini didasarkan pada kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
الاَصْلُ
فِيْ الاَشْيَاءِ الاِبَاحَةُ حَتَّى
يَدُلُّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمُ
Hukum asal setiap perkara hukumnya
boleh hinga ada dalil yang mengharamkannya.
- Hukum
Jadi, hukum asuransi adalah karena
tidak ada dalil yang mengharamkannya, dan dengan tetap menimbang
pendapat-pendapat tentang asuransi yang ada. Maka asuransi hukumnya
boleh jika:
- Tidak ada paksaan
- Tidak menimbulkan kerugian
- Tidak mengandung ketidakjelasan
- Tidak mengandung riba
1
Zainuddin Ali, Asuransi Syari’ah
(Jakarta: Sinar Grafika, 2008) hlm 2.
2
Muhaimin Iqbal, Asuransi Umum Syari’ah
( Depok: Gema Insani, 2002) hlm 4.
3
Sahrani, Sohari dan Abdullah, Ruf’ah,
Fikih Muamalah (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2011) hlm177
4
Hensi Suhendi, Fiqh Muamalah
(Jakarta: Raja Grafindo Persada:2002) hlm 310-312.
5
Zainuddin. Op.Cit.
hlm 89.
6
Kuat ismanto. Op.Cir hlm
199.
0 opmerkings:
Plaas 'n opmerking